WELCOME TO MY BLOG

(BABUL 'ILMI)

USHUL FIQIH: SYAR’U MAN QABLANA MAZHAB SAHABAT


Tugas kelompok
SYAR’U MAN QABLANA
MAZHAB SAHABAT
USHUL FIQH
Dosen: Junaidi Abdillah, S.HI.,M.S.I
Disusun oleh:
  Fadlul munir                             : 1311010279
  Edi Chandra                             : 1311010260
  Titin Aditiya                              : 1311010287

  Jurusan                          :  Pendidikan Agama Islam (PAI)
  Semester                       : 3 (tiga)                  
  Kelas                            : F






FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 1437 H/ 2016







KATA PENGANTAR

Alhamdulilah segala puji bagi Allah Swt atas nikmat dan karunianya yang di berikan selama ini,solawat dan salam semoga di curahkan kepada junjungan kita Rosulloh SAW,atas perjuanganya, pengorbananya, untuk membimbing umat manusia menuju jalan yang lurus.
Makalah ini yang berjudul “SYAR’U MAN QABLANA MAZHAB SAHABAT”, di susun dengan mengacu kepada sumber buku, kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan dapat di jadikan bahan pembelajaran bagi kita semua.
            Penyusun menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran, yang bersifat membangun demi menyempurnakan makalah ini menjadi lebih baik.Ahirul kalam penyusun mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah memberikan motifasinya, dan membantu penyusunan makalah ini.



                                                                                Bandar Lampung, 02 Maret 2015 



                                                                                                  Penulis










DAFTAR ISI

Halaman Judul.............................................................................................
Kata Pengantar............................................................................................
Daftar Isi.........................................................................................................
Abstrak ...........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
A. Latar Belakang............................................................................................
B. Rumusan Masalah........................................................................................
C. Tujuan Masalah............................................................................................
BABII PEMBAHASAN................................................................................
A.pengertian Syar’u man qablana mazhab sahabat..........................................
B. bentuk dan hukum syar’u man qablana.......................................................
C. Macam-macam syar’u man qablana.............................................................
BAB III PENUTUP.......................................................................................
Daftar Pustaka








ABSTRAK

Syariat yang allah turunkan pada tiap nabinya untuk didakwahkan  pada masing-masing umatnya yang dibenarkan dengan Al-qur’an dan sunah. Adapun perbedaan pendapat tentang legalitas syar’u man qablana untuk dijadikan dalil dan sumber hukum islam tidaklah membuat para ulama saling merasa diri mereka benar dan melecehkan argument ulama lainnya yang tidak sependapat. Semakin banyak perbedaan menunjukkan bahwa manusia benar-benar di karuniai akal yang luar biasa. Tiap ulama memiliki hujjahnya masing-masing yang sama kuat,semoga kita dalam menyoroti dalil yang masih diperselisihkan ini juga berpandangan secara objektif tidak subjektif,segala ilmu bersumber dari Allah,dan yang paling mengetahui akan keberadaanya pun hanya Allah. Bila dalil syar’u man qoblana mendatangkan manfaat dan kebajikan niscaya tidak ada salahnya kita mempergunakan dan mengamalkannya.
Tidak ada perbedaan pendapat mengenai perkataan sahabat. Apa-apa yang tidak terfikir oleh Ra-I dan akal dapat dijadikan hujjah. Karena tidak dapat tidak kata-kata meraka sampaikan itu, mereka sendiri yang mendengarkannya dari rasulullah SAW.










BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Telah diketahui tentang Syar’u Man Qablana adalah salah satu dari sekian banyak metode istinbat (panggilan) hukum islam, Syar’u Man Qablana hanya sebagai penguat teks-teks keagamaan dan bukan dijadikan sebagai petunjuk untuk menggali hukum . namun sering kali ia tetap dijadikan sebagai metode, sumber dan dalil hukum islam dikelompokkan menjadi dua yaitu yang disepakati dan yang masih diperselisihkan  oleh para ulama. Adapun yang telah disepakati adalah Al-Qur’an dan sunnah, serta ijma dan qiyas. Sedangkan  7dalil hukum islam yang masih menjadi perselisihan yaitu marsalah mursalah, istihsan, saddus zari’ah, urf, istishab, mazhab shahabi dan Syar’u Man Qablana

B.     Rumusan masalah

1)      Apa yang dimaksud Syar’u Man Qablana
2)      Bagaimana bentuk dan hukum yang berlaku bagi Syar’u Man Qablana

C.     Tujuan masalah
1)      Untuk mengetahui tentang Syar’u Man Qablana
2)      Untuk mengetahui tentang bentuk dan hukum Syar’u Man Qablana






BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN SYAR’U MAN QABLANA (MAZHAB SAHABAT)
Syar’u man qablana adalah syariat atau ajaran-ajaran para nabi sebelum diutusnya rasullulah SAW. yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, pada azasnya syari’at yang diperuntukan Allah SWT . bagi umat dahulu mempunyai azas yang sama dengan syari’at yang diperuntukkan bagi umat nabi Muhammad SAW. diantara azas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan tentang hari akhirat, tentang qada dan qadhar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya.
Mazhab sahabat adalah pendapat sahabat rasullulah SAW tentang suatu kasus dimana hukum-hukum nya itu tidak dijelaskan secara tegas dalam al-qur’an dan sunah rasul.
Sahabat adalah orang-orang yang bertemu rasullulah SAW yang berlangsung menerima risalahnya dan mendengar langsung penjelasan syariat dari beliau sendiri, oleh karena itu jummur fiqaha telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah sesudah dalil-dalil nash.
Mazhab sahabat (pendapat sahabat) tidak menjadi hujjah atas sahabat lainnya, hal ini sudah disepakati. Yang masih diperselisihkan ialah, apakah pendapat sahabat bisa menjadi hujjah  atas tabi’in dan orang-orang yang sesudah mereka.[1] Dalam hal ini ada tiga pendapat yaitu:
a)      Pendapat pertama:
      Pendapat sahabat tidak menjadi hujjah sama sekali, demikian lah pendapat jumhur. Perkataan seorang mujtahid bukanlah suatu dalil yang dapat berdiri sendiri.
(b) pendapat kedua
Pendapat sahabat menjadi hujjah dan didahulukan dari pada qiyas. Demikianlah pendapat malik, golongan hanafiah dan syafi’i. bahkan Ahmad bin Hanbal mendahulukan pendapat sahabat dari pada hadis mursal dan hadis dha’i

(c) pendapat ketiga
Pendapat ketiga menjadi hujjah apabila dikuatkan dengan qiyas atau tidak berlawanan dengan qiyas. Jadi pendapat sahabat tersebut didahulukan daripada qiyas, yang tidak disertai pendapat sahabat.
Menurut As-Syaukani yang diperselisihkan disini, ialah pendapat sahabat tentang masalah ijtihadiyah. Yang benar ialah, bahwa pendapat sahabat tidak menjadi hujjah, karena tuhan tidak mengharuskan kita mengikutinya. Kita hanya diperintah mengikuti qur’an dan sunnah rasul.[2]
(Qs Ali-Imran:110)


“artinya”. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.
Ayat ini merupakan kitab dari allah untuk sahabat-sahabat agar mereka menganjurkan ma’ruf, sedangkan perbuatan ma’ruf adalah wajib, karena itu pendapat rasul wajib diterima.
Alasan ke-2 adalah hadist rasul yaitu, sahabatku bagaikan bintang-bintang siapa saja diantara mereka yang kamu ikuti pasti engkau mendapat petunjuk. Hadist ini menunjukkan bahwa rasul SAW menjadikan kepada siapa saja dari sahabatnya sebagai dasar memperoleh petunjuk (hidayah). Pendapat dari mereka itu adalah hujjah dan wajib kita terima/amalkan.

B.     BENTUK DAN HUKUM SYAR’U MAN QABLANA
Jika Al-Qur’an dan As-sunnah yang benar itu mengisahkan syari’at atau hukum-hukum syara’ bagi umat sebelum kita melalui utusan-nya, dan didalam nash juga ditetapkan sebagai syari’at untuk kita seperti diwajibkannya kepada orang-orang sebelum kita, maka hal tersebut tidak terdapat perbedaan  bahwa syari’at tersebut merupakan syari’at dan undang-undang yang wajib kita taati dengan menetapkan sebagai syariat. Al-Qur’an dan sunah sahih telah mengisahkan tentang salah satu dari hukum syari’, yang diisyaratkan Allah kepada umat yang telah dahulu dari kita. Ada hal-hal dan nash-nash yang disampaikan kepada nabi SAW juga oleh tuhan telah disampaikan kepada umat-umat dahulu kala.[3] Ada hal-hal  yang tidak berbeda menurut apa yang disyari’atkan kepada kita berupa peraturan-peraturan yang wajib kita ikuti.
Firman allah yang berbunyi:
Ya ayuhalladinaamanu kutiba ngalaikummusiyamu kamakutiba ngalalladzi naminqobliqum.
“Hai orang-orang yang beriman , diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”.
Dan jika Al-Qur’an dan As-Sunnah telah mengisahkan hukum-hukum tersebut, dan terdapat nash yang menghapus berlakunya untuk kita, juga tidak ada perbedaan, hal tersebut bukanlah merupakan syari’at untuk kita berdasarkan dalil yang menghapuskannya. Pakaian yang terkena najis, tidak bisa disucikan kecuali harus membuang atau memotong bagian yang terkena najis. Dan masih banyak hukum yang merupakan syari’at bagi orang-orang sebelum kita, tetapi telah dihapus berlakunya untuk kita.
Yang menjadi hukum awal perbedaan pendapat, ialah hukum-hukum syari’at orang-orang dahulu yang allah dan rasul kisahkan kepada kita, tetapi didalam syari’at yang berlaku untuk kita tidak disebutkan bahwa hal tersebut merupakan kewajiban bagi kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, atau dihapuskan.
Firman allah SWT yang berbunyi;
“Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani israil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh  manusi seluruhnya”.(Q.S.5:32)
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (at-taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishas nya”.(Q.S.5:45)
Kata sebagian ulama, sebenarnya tidak ada syari’at yang kita punyai, karena syarat kita ini mencabut syarat yang dahulu itu. Kecuali terdapat dalam syariat kita apa-apa yang ditetapkannya. Karena syarat itu menasikhan syarat yang dahulu. Al-Qur’an mengisahkan kepada kita hukum syar’i yang dahulu itu, tanpa nash untuk menasikhannya. Yaitu  tasyri’ yang telah dijamin untuk kita.
Jumhur Ulama Hanafiyah dan sebagai ulama malikiyah serta sebagian ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum tersebut juga sebagai syari’at untuk kita dan kita berkewajiban mengikuti dan melaksanakan, lantaran hukum tersebut telah dikisahkan kepada kita dan tidak ada syari’at yang menghapuskannya. Sebab, hukum tersebut merupakan bagian dari hukum –hukum allah  yang disyari’atkan allah melalui utusan-nya, allah juga telah mengisahkan kepada kita. Selain itu tidak terdapat dalil yang menghapuskan, sehingga bagi setiap mukallaf wajib mengikutinya. Karenanya, ulama’ Hanafiyah berdalil bahwa pembunuh itu bersifat umum, tanpa memandang yang dibunuh itu muslim atau kafir dzimmi, laki-laki atau wanita.
Sebagian ulama’ mengatakan bahwa syari’at yang berlaku untuk kita ini menghapus syari’at orang-orang sebelum kita melainkan jika syari’at kita terdapat ketetapannya. Tetapi yang benar adalah pendapat pertama, lantaran syari’at kita hanyalah menghapuskan syari’at terdahulu terhadap syari’at yang bertentangan dengan syari’at kita, disamping nash Al-Qur’an yang merupakan hukum syara’ terdahulu dan tidak ada nash yang menghapus dapat dipahami [4]merupakan pembentukan hukum yang berlaku untuk kita. Hukum tersebut merupakan ketentuan tuhan yang disampaikan oleh rasul kepada kita, dan tidak terdapat dalil  yang menghapus berlakunya bagi kita. Al-Qur’an juga membenarkan kitab-kitab yang turun sebelum Al-Qur’an, seperti taurat dan injil. Nash yang tidak menghapus hukum yang terdapat pada dua kitab tersebut, berarti merupakan ketetapan hukum.
Sepeninggal Rasulullah SAW yang memberikan fatwa kepada orang banyak pada waktu itu ialah jemaah sahabat dan pembentuk hukum-hukum islam untuk kepentingan umat islam adalah para sahabat yang benar-benar sudah lekat dengan fiqih dan ilmu agama,serta lantaran akrabnya mereka dengan Rasulullah didalam pergaulan sehingga mampu memahami Al-qur’an dan hukum-hukumnya. Para sahabat telah mengeluarkan berbagai fatwa mengenai berbagai kejadian dan permasalahan yang sangat bnyak. Begitu juga para tabi’in dan tabi’u’t secara teliti memperhatikan keriwayatan dan pentadwinan,sehingga diantara mereka terdapat yang berupaya untuk membukukannya,bersama dengan pembukuan sunah-sunah rasul.
Juga tidak terdapat perbedaan pendapat mengenai ucapan sahabat yang tidak diketahui ada sahabat lain yang menentang atau menolak, merupakan hujjah bagi umant islam. Kesepakatan para sahabat terhadap suatu peristiwa itu berdasarkan dekatnya mereka kepada Rasul dan pengetahuan mereka terhadap rahasia pembentukan hukum. Dalam lapangan uqubah  (pidana) islam mengharamkan membunuh para pendeta,anak-anak dan kaum wanita,dalam peperangan. Melarang penyiksaan dan khianat. melarang membunuh orang yang tidak bersenjata dan membakar orang hidup-hidup atau sesudah mati. Dalam lapangan akhlak dan sendi-sendi keutamaan,islam telah menetapkan atau mengajarkan hal-hal yang dapat mendidik individu dan masyarakat,dan dapat berjalan bersama pada jalan yang paling lurus. Allah SWT sendiri telah menunjukkan atas tujuan-Nya terhadap tahsin (membagusi) dan tajmil (memperindah) ini dengan beberapa ‘illat dan hikmah yang dibarengkan bersama sebagian hukumnya.[5] Jadi meneliti hukum-hukum syara’ bersama ‘illat dan hikmah pembentukan hukum-hukumnya dalam berbagai bab dan peristiwa,dapat menghasilkan kesimpulan bahwa syariat islam itu dalam pembentukan hukumnya tidak bertujuan kecuali memelihara kepentingan pokok manusia,kepentingan sekundernya dan kepentingan pelengkapnya.
Imam Abu Ishak Asy Syathibi,menjelaskan dalam kitabnya”al muwafaqot. Telah beliau mendatangkan beberapa contoh hukum syariat dan hikmah pembentukannya yang dapat menunjukkan (menjadi dalil) bahwa setiap hukum itu adalah hukum syara’, tujuan di syariatkan nya hukum itu hanyalah memelihara salah satu diantara 3 kepentingan tersebut,yang dari padanya terwujudlah mashalah manusia,”bahwasanya lahirnya lafal yang umum, lafal yang mutlak, lafal yang di kayidi.[6] Ketika islam mewajibkan hukum qishas untuk memelihara jiwa,di isyaratkan pula pelaksanaan yang sama supaya dapat sampai kepada tujuan qishas tanpa terjadi permusuhan dan kemarahan karena membunuh si pembunuh dalam bentuk yang lebih keji dari yang telah di lakukan oleh pembunuh, kadang-kadang mendatangkan penumpahan darah dan merusak tujuan qishas.
Ketika islam mengharamkan zina untuk memelihara kehormatan di haramkan pula berduaan bersama wanita yang bukan mukhrimnya ditempat yang sunyi; untuk menutup jalan (kesana) ketika khomr (minuman keras) diharamkan untuk memelihara akal, diharamkan pula khomr yang sedikit,sekalipun tidak memabukkan dan segala sesuatu yang bisa mendatangkan kepada yang haram, sebagai haram. Ketika islam mensyariatkan pernikahan untuk menghasilkan anak dan keturunan, maka di syariatkan kafa’ah (kesamaan martabat). Ajaran-ajaran yang oleh islam yang telah di isyaratkan untuk memelihara kepentingan pokok manusia, ajaran itu disempurnakan dengan disyariatkan hukum-hukum yang dapat merealisir tujuan ini pada jalannya yang paling sempurna. Dalam kepentingan yang bersifat sekunder islam mensyariatkan macam-macam muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, perseroan dan mudharabat, semua itu disempurnakannya dengan melarang tipuan, tidak mengetahui, menjual barang yang tiada.
Dalam kepentingan yang bersifat pelengkap ketika islam mensyariatkan bersuci (taharah), islam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu). Islam menjadikan ketentuan yang didalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya, islam menganjurkan derma (infaq) agar infaq itu dari hasil pekerja yang halal. Juga tidak ada perbedaan  tentang perkataan sahabat. Perkataan sahabat yang tidak mengenai suatu masalah itu dapat dijadikan hujjah. Mereka sepakat tentang hukum mengenai suatu peristiwa, mereka masih dekat dengan Rasulullah SAW, mereka mengetahui rahasia-rahasia tasyri’ dan perbedaan pendapat mengenai peristiwa-peristiwa yang sering terjadi. Mengubah dalil Dzan kepada dalil qathi’. Hal ini merupakan hujjah yang wajib diikuti dan tidak ada perbedaan pendapat diantara kaum muslim.
Sesungguhnya syariat samawi pada asalnya adalah satu. Oleh karena itu yang menurunkan syariat samawi itu satu yaitu Allah SWT.[7] Maka syariat tersebutpada dasarnya/intinya adalah satu, meskipun kemudian Allah SWT telah mengharamkan beberapa hal kepada beberapa kaum seperti yahudi diharamkan binayang-binatang yang berkuku, gajih sapi, dan kambing. Selain itu juga bahwa bentuk dan cara-cara ibadah (hubungan manusia dengan Allah) berbeda dengan perinciannya meskipun intinya sama yaitu menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Oleh, karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum kita (umat islam) dengan datangnya syari’at islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash. Dalam menanggapi berlakunya umat sebelum kita ini ada beberapa hal yang disepakati para ulama:
1)        Hukum-hukum syara’ yang ditetapkan bagi umat sebelum kita tidaklah dianggap ada tanpa melalui sumber-sumber hukum islam, karena dikalangan umat islam nilai sesuatu hukum didasarkan kepada sumber-sumber hukum islam.
2)      Segala sesuatu hukum yang dihapuskan dengan syari’ah islamiyah, otomatis hukum tersebut tidak berlaku bagi kita. Demikian pula hukum-hukum yang dikhususkan untuk sesuatu umat tertentu, tidak berlaku bagi umat islam seperti keharaman beberapa makanan/daging bagi Bani Israel.
3)    Segala yang ditetapkan dengan nash, nash yang dihargai oleh islam seperti juga ditetapkan oleh agama-agama samawi yang telah terlalu, tetap berlaku bagi umat islam, karena ketetapan nash islam itu tadi bukan karena ditetapkannya bagi umat yang telah lalu.
Secara ringkas tentang Syari’ah umat sebelum kita ini, maka gambaran Syar’u Man Qablana ada dua macam yaitu:
1.      Ada yang telah dihapuskan oleh Syari’ah Islam
2.      Yang tidak dihapuskan oleh Syari’ah islam. Yang tidak dihapuskan  denagn tegas ini bisa dibagi dua yaitu:
a.    Yang ditetapkan oleh Syari’ah Islam dengan tegas.[8]
b.    Yang tidak ditetapkan oleh syari’ah islam dengan tegas. Yang tidak ditetapkan dengan tegas ini dibagi pula menjadi dua bagian yaitu:
1)      Yang diceritakan kepada kita baik melalui Al-Qur’an atau Hadist
2)      Yang tidak disebut-sebut sama sekali didalam Al-Qur’an atau Hadist.

Jika memang syari’at-syari’at samawi pada asalnya adalah satu, maka secara keseluruhan mesti diterima, kecuali apabila ad adalil yang menerangkan bahwa hal itu merupakan syari’at temporal yang berlaku untuk umat tertentu, atau telah dinasakh dalam syari’at Islam. Demikian pendapat segolongan ulama ahli figh. Sedangkan  jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu tidak bisa dianggap sebagai hukum syara’ bagi kita (umat islam). Sebab hukum asal mengenai syari’at umat terdahulu yang bersifat tafsily, bukanlah merupakan hukum yang universal (umum) yang patut diterapkan untuk setiap waktu dan tempat. Setiap perkara yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan disebutkan oleh hadist sebagai hukum syar’iy yang berlaku khusus untuk sebagian umat masa lampau, pastilah didukung oleh adanya dalil yang menunjukkan kekhususan itu. Atau ada dalil yang menunjukkan  tetap berlakunya ketentuan hukum itu yang bersifat universal (umum) untuk segala zaman. Berdasarkan  istigra’ (penelitian) terhadap nash-nash Al-Qur’an maupun hadist, ternyata tidak ditemukan satu nash-pun yang mengangkat cerita umat terdahulu tanpa dilengkapi dengan keterangan bahwa ketentuan hukum yang terkandung dalam cerita itu khusus atau umum. Jika memang demikian halnya maka perselisihan ulama tersebut seharusnya tidak terjadi. Sebab syari’at umat terdahulu, jika ada dalil yang menerangkan berlaku khusus, tidak bisa dijadikan hujjah dengan kesepakatan ulama. Sedangkan apabila ada dalil yang menerangkan berlaku umum, maka bisadijadikan hujjah sesuai dengan kemauannya.
Ada beberapa dalil yang tidak disepakati oleh ulama tentang nilainya sebagai hujjah, diantaranya pendapat sahabat. Jumhur ulama berpendapat bahwa pendapat sahabat tidak menjadi hujjah, karena Allah tidak mengharuskan kita untuk mengikutinya.[9] Kita hanya diperintahkan mengikuti Al-Qur’an dan sunah rasulullah dan para sahabat bukanlah orang-orang yang ma’hsum. Yang diaksud pendapat sahabat adalah pendapat sahabat dalam masalah Ijtihad iyah. Pendapat yang kedua menetapkan bahwa pendapat sahabat menjadi hujjah dan dudahulukan daripada qiyas dan pendapat yang ketiga menyatakan bahwa pendapat sahabat menjadi hujjah apabila dikuatkan dengan qiys stau tidak berlawanan dengan qiyas.
‘ Abd al-wahab Khallaf1 2 menyimpulkan bahwa:
Pertama, tidak ada perbedaan pendapat bahwa pendapat sahabat adalah hujjah dalam hal yang bersifat sam’I dan bukan ‘aqli, karena para sahabat mendasarkan pendapatnya kepada apa yang didengar dari Rasulullah. Kedua, tidak ada perbedaan pendapat pula bahwa segala yang disepakati para sahabat adalah hujjah karena kesepakatan mereka atas sesuatu kasus sebagai bukti bahwa mereka menyandarkan pendapatnya kepada dalil yang tegas/pasti, seperti member hak 1/6 bagian kepada nenek/jahat.
Sesungguhnya pada pembagian pertama apa yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf tidak lain adalah sunnah dan sunnah nabi mempunyai kriteria-kriteria tersendiri, sedang yang kedua tidak lain adalah Ijma’ sahabat yang juga ada ketentuan-ketentuannya tersendiri. Contoh lain dari pendapat sahabat yang dipegang oleh para ulama Hanafiyah adalah masa menstruasi yang dinyatakan paling pendek tiga hari dan paling panjang sepuluh hari tidak akan kurang dan tidak akan lebih.
Imam Ibnu Qayyim dalam kitabnya ‘ Ilmu Muwaqqi’in (jus 4 hal 148) menyatakan 43 alasan yang mewajibkan mengikuti pendapat sahabat, akhirnya beliau berkata: bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari 6 bentuk:
1.      Fatwa yang didengar sahabat dari Nabi
2.      Fatwa yang didengar dari orang yang mendengar dari Nabi
3.   Fatwa yang didasarkan atas pemahaman terhadap Al-Qur’an yang agak kabur dari ayat tersebut pemahamannya bagi kita.
4.    Fatwa yang disepakati oleh tokoh-tokoh sahabat yang sampai kepada kita melalui salah seorang sahabat
5.      Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya. Kelima hal ini adalah hujah yang wajib diikuti
6.      Fatwa yang didasarkan pemahaman yang tidak datang dari nabi dan salah pemahamannya, maka hal ini tidak jadi hujjah.


C.    MACAM-MACAM SYAR’U MAN QABLANA
a.      Syari’at yang diperuntukan bagi orang-orang yang sebelum kita tetapi Al-Qur’an dan Hadist tidak menyinggung baik membatalkan atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad
b.      Syari’at yang diperuntukan bagi umat-umat sebelum kita kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW
c.   Syari’at yang berlaku bagi orang-orang sebelum kita, kemudian Al-Qur’an dan Hadist menerangkannya kepada kita
Mengenai bentuk ke-3 yaitu syari’at yang diperuntukkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudian diterangkan kepada kita oleh Al-Qur’an dan Hadist para ulama berbeda pendapat.[10] sebagian ulama hanafiah, sebagian ulama malikiyah, sebagian ulama syafi’iyah dan hanabilah. Berpendapat bahwa syari’at itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhamad SAW, mengenai pendapat golongan ialah menurut mereka dengan adanya syari’at Muhammad SAW, maka syari’at yang sebelum nya dinyatakan mansyukh (tidak berlaku lagi hukumnya). Mengenai bentuk kedua  para ulama tidak menjadikannya sebagai hujjah, sedangkan bentuk pertama ada ulama yang menjadikannya sebagai dasar hujjah, selama tidak bertentangan dengan syari’at Nabi SAW.

BAB III
PENUTUP
      Syar’u man qablana adalah syariat atau ajaran-ajaran para nabi sebelum diutusnya rasullulah SAW. Mazhab sahabat adalah pendapat sahabat rasullulah SAW tentang suatu kasus dimana hukum-hukum nya itu tidak dijelaskan secara tegas dalam al-qur’an dan sunah rasul.
     Jika Al-Qur’an dan As-sunnah yang benar itu mengisahkan syari’at atau hukum-hukum syara’ bagi umat sebelum kita melalui utusan-nya, dan didalam nash juga ditetapkan sebagai syari’at untuk kita seperti diwajibkannya kepada orang-orang sebelum kita, maka hal tersebut tidak terdapat perbedaan  bahwa syari’at tersebut merupakan syari’at dan undang-undang yang wajib kita taati dengan menetapkan sebagai syariat. Al-Qur’an dan sunah sahih telah mengisahkan tentang salah satu dari hukum syari’, yang diisyaratkan Allah kepada umat yang telah dahulu dari kita.
Dan jika Al-Qur’an dan As-Sunnah telah mengisahkan hukum-hukum tersebut, dan terdapat nash yang menghapus berlakunya untuk kita, juga tidak ada perbedaan, hal tersebut bukanlah merupakan syari’at untuk kita berdasarkan dalil yang menghapuskannya. Pakaian yang terkena najis, tidak bisa disucikan kecuali harus membuang atau memotong bagian yang terkena najis. Dan masih banyak hukum yang merupakan syari’at bagi orang-orang sebelum kita, tetapi telah dihapus berlakunya untuk kita.
           Yang menjadi hukum awal perbedaan pendapat, ialah hukum-hukum syari’at orang-orang dahulu yang allah dan rasul kisahkan kepada kita, tetapi didalam syari’at yang berlaku untuk kita tidak disebutkan bahwa hal tersebut merupakan kewajiban bagi kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, atau dihapuskan.




DAFTAR PUSTAKA

A.    Hanafie M.A. Ushul Fiqh, widjaya, Jakarta:1989.
DR. Abdul Wahhab Khaffah, Kaidah-kaidah hukum islam, risalah, Bandung:1989
Drs. Muin Umar, dkk, Ushul figh I, mon mata’s printing, Jakarta:1985
Prof. DR.Rachmat syafe’I, MA, Ilmu Ushul Figh, Pustaka Setia, Bandung:2010
Prof. H.A. Djazuli, Ilmu figh penggalian perkembangan dan penerapan hukum islam, kencana, Jakarta:2005
Prof. Muhamad Abu Zahrah, Ushul Figh, PT Pustaka Firdaus,  Jakarta:1997
Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Rineka CIpta, Jakarta:1993


        [1] A. Hanafie M.A. Ushul Fiqh, widjaya (Jakarta:1989.) Hal 148

[2] DR. Abdul Wahhab Khaffah, Kaidah-kaidah hukum islam (risalah, Bandung:1989) hal 109

[3] Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih( Rineka CIpta, Jakarta:1993) hal 214


[4] Prof. DR.Rachmat syafe’I, MA, Ilmu Ushul Figh, Pustaka Setia, Bandung:2010. Hal 141

         [5] Ibid, hal 142
[6] ibid hal 145

[7] Prof. H.A. Djazuli, Ilmu figh penggalian perkembangan dan penerapan hukum islam (kencana, Jakarta:2005) hal 94
        [8] Ibid, hal 96
[9] Prof. Muhamad Abu Zahrah, Ushul Figh, (PT Pustaka Firdaus, Jakarta:1997) hal 465

       [10] Drs. Muin Umar, dkk, ushul figh I (mon mata’s printing:Jakarta, 1985) hal 143

0 Response to "USHUL FIQIH: SYAR’U MAN QABLANA MAZHAB SAHABAT"

Post a Comment