Sumber dan Dalil-Dalil Hukum Islam
(Al-Quran dan sunnah)
Oleh:
Suherna
purwendi
Aprillia Ratna Sari
IAIN Raden
Intan Lampung
Abstrak
Manusia tanpa beralquran maka hidupnya tanpa
ada arti,sesat,bimbang,dan kacau balau. Karena Al-quran mengandung dasar-dasar
keimanan, sendi peribadatan, pegangan hidup dalam pergaulan antar-manusia dan
petunjuk tentang akhlak mulia, mengandung juga prinsip-prisip hukum, walaupun
tidak banyak. Setelah beralquran adalah sumber hukum al sunah,al sunah
seringkali dipergunakan untuk ketetapan Rasulullah mengenai hukum islam,bahkan
termasuk dari para sahabatnya.
Kata-kata kunci: Al-Qur’an dan al-sunah
A. Pengantar
Al-Qur’an
dan As-sunnah merupakan sumber hukum islam yang utama yang saling berkaitan dan
tidak bisa saling dipisahkan satu sama lain. Hal ini karena tidak ada sumber
melainkan dua sumber diatas, hukum seluruhnya termaktub dalam al-qur’an dan
assunah sebagai penjelas al-quran. Maka dari itu penting sekali bagi umat
muslim untuk memahami al-qur’an dan assunah dalam perannya, pada dasarnya dua
sumber inilah yang selalu diutamakan dalam mencari ketetapan hukum.sebagaimana
kesepakatan para ulama yang berbeda madzhab, bahwa seluruh tindakan manusia
(ucapan, perbuatan dalam ibadah dan muamalah) terdapat hukum-hukum tersebut
sebagaimana telah dijelaskan didalam nash al-qur’an dan assunah.
B. Pengertian Sumber dan Dalil
Sumber secara etimologi berarti
asal dari segala sesuatu atau tempat merujuk sesuatu. Dan dalil berarti
petunjuk pada sesuatu, baik yang bersifat material maupun nonmaterial. Adapun
secara terminologi dalam ushul fiqh, sumber diartikan sebagai rujukan yang
pokok/utama dalam menetapkan hukum islam.[1]
Yang dimaksud sumber fiqih ialah
asal pengambilan ketentuan-ketentuan fikih. Sumber fiqih islam terdiri dari dua
macam sumber yaitu sumber formal yang berasal dari wahyu, baik wahyu yang
berupa Al-Qur’an yang dinamakan “wahyu matluw” maupun yang berupa sunnah yang
dinamakan “wahyu khafi”.[2]
Sedang dalil mengandung pengertian
sebagai suatu petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam
memperoleh hukum syara’[3]
yang bersifat praktis. Baik yang kedudukannya qath’I (pasti) atau zhanni
(relatif).[4]
C.
Al-Qur’an
Sebagai Sumber dan Dalil Hukum
Pengertian Al-Qur’an
Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang
pertama dan utama. Ia memuat kaidah-kaidah hukum islam, Al-Qur’an adalah kitab
suci yang memuat wahyu, (firman) Allah, tuhan yang maha Esa, asli seperti yang
disampaikan malaikat jibril kepada Nabi muhammad sebagai rasul-Nya sedikit demi
sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari selama 13 tahun, waktu nabi masih
tinggal di Makkah sebelum hijrah dan 10 tahun sesudah hijrah ke Madinah.
Kata Al-Qur’an yang berasal dari
kata qaraa yang dapat diartikan membaca, namun yang dimaksud Al-Qur’an dalam
uraian ini adalah “kalamullah yang diturunkan oleh ruhul amin[5]
kepada Muhammad Rasulallah dalam bahasa arab dan pengertiannya benar, agar
menjadi hujjah bagi rasul bahwa ia adalah Rasul allah, menjadi dustur bagi
orang-orang yang mengikuti petunjuknya, menjadi ibadah bagi orang yang membacanya.
Ia ditulis diatas lembaran mushab, dimulai dari surah Al-fatihah dan berakhir
dengan surah An-nas yang disampaikan kepada kita dengan secara mutawatir, baik
melalui tulisan atau bacaan dari satu generasi terpelihara dari perubahan dan
penggantian.
Karena itu, tafsir atau terjemahan
Al-Qur’an dengan bahasa Arab atau bahasa lainnya, sekalipun terjemahan itu gaya
bahasanya begitu tinggi, tidak dapat dikatakan Al-Qur’an yang dapat dijadikan
sumber fikih islam, karena bahasa Arab yang menjadi bahasa Al-Qur’an mengandung
rahasia dan pengertian yang luas dari bahasa lain.[6]
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara
tentang hukum kebanyakannya bersifat umum, Ayat Al-Qur’an yang pertama kali
diturunkan pada bulan Ramadhan pada tahun ke-41 dari kelahiran Muhammad SAW
sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya:
Artinya:
“Bulan Ramadhan, bulan yang dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang batil). (Q.S. Al-Baqarah 185).
Ayat yang
pertama ialah awal surah Al- ‘Alaq[7].
Namun menurut riwayat dari Jabir yang pertama diturunkan adalah awal-surah
Al-Mudasir, tetapi kedua riwayat ini dapat dihimpunkan ialah ayat yang pertama
yang diturunkan adalah awal surah Al-‘Alaq dan sesudah beberapa waktu wahyu
terputus turunlah surah yang lengkap ialah surah Al-Mudasir (3).
Menurut
yang diriwayatkan oleh Thabari dari Hasan bin Ali bahwa turunnya ayat yang
pertama bertepatan dengan terjadinya pertempuran Badar, sedang hari pertempuran
badar terjadi pada tanggal 17 Ramadhan sebagaimana yang di isyaratkan dalam
ayat:
Artinya: “jika
kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami
(Muhammad) di hari furqan yaitu di hari bertemunya dua pasukan.” (Al-Anfal 41).
Dan menurut yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas ayat yang terakhir turunnya adalah ayat yang diturunkan pada hari
wuquf di Arafah pada hari jum’at ialah ayat:
Artinya: “pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku cukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan telah Ku ridhai islam itu jadi agama bagimu.” (Q.S Al-Maidah 30).
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum kadang-kadang dilalahnya (pengertiannya) qath’iyah jelas) dan kadang-kadang dilalahnya zanniyah (kurang jelas). Yang dimaksud dengan dilalah qath’iyah ialah menunjuk pengertian hukum tertentu yang tidak akan tergambar adanya pengertian lain. Dan yang dimaksud dengan dilalah zanniyah ialah yang mungkin timbul ada beberapa pengertian dalam nash yang satu.[8]
Artinya: “pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku cukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan telah Ku ridhai islam itu jadi agama bagimu.” (Q.S Al-Maidah 30).
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum kadang-kadang dilalahnya (pengertiannya) qath’iyah jelas) dan kadang-kadang dilalahnya zanniyah (kurang jelas). Yang dimaksud dengan dilalah qath’iyah ialah menunjuk pengertian hukum tertentu yang tidak akan tergambar adanya pengertian lain. Dan yang dimaksud dengan dilalah zanniyah ialah yang mungkin timbul ada beberapa pengertian dalam nash yang satu.[8]
Maksud
utama Al-Qur’an ialah menggugah kesadaran tinggi yang ada pada manusia tentang
hubungannya yang serba segi itu dengan Tuhan dan alam semesta.[9] Hukum-hukum
yang terkandung dalam Al-Qur’an pada garis besarnya dapat dibagi menjadi tiga
macam:
pertama
Hukum-hukum yang menyangkut keprcayaan (akidah) yang menjadi kewajiban para
mukalaf meyakininya ialah tentang keyakinan adanya Allah, malaikat, kitab-kitab
Allah, Rasul-rasul, hari akhirat dan takdir.
Kedua
Hukum-hukum yang bersangkut paut dengan akhlak yang menjadi kewajiban bagi
para mukallaf bersifat dengan sifat yang terpuji dan menjauh dari sifat yang
tercela.
Ketiga
Hukum-hukum yang menyangkut perbuatan, perkataan yang lahir dari manusia.
Hukum yang seperti inilah yang dinamakan fikih. Mengenai bentuk yang terakhir
ini dapat pula dibagi menjadi dua:
Hukum-hukum
yang mengatur hubungan manusia dengan tuhannya yang disebut dengan ibadah
bersifat tetap, tidak menerima perubahan dan harus dikerjakan sebagaimana yang
diterapkan. Hukum-hukum
yang mengatur pergaulan hidup manusia sesamanya, yaitu disebut fikih muamalah.
Hukum dalam bentuk ini hanya disebutkan dasar-dasarnya saja, tidak dengan
secara mendetail. Pokok-pokok
Al-Qur’an yaitu: Tauhid (meesakan Tuhan), Ibadah, janji dan ancaman; al-qur’an
menjanjijkan pahala bagi orang yang mau menerima isi qur’an dan mengancam
mereka yang mengingkarinya dengan siksa , riwayat dan ceritera[10],
jalan mencapai kebahagian dunia dan akhirat.[11] Jumlah
surah dalam Al-Qur’an Ahlu Sunnah sebanyak 114 surah dan jumlah ayat-ayat
sebanyak 6342, jumlah ayat yang pribadi sebanyak 70 ayat, hukum perdata
sebanyak 70 ayat, hukum pidana sebanyak 30 ayat, hukum acara pidana sebanyak 13
ayat, hukum internasional sebanyak 25 ayat, hukum Ekonomi dan keluarga sebanyak
10 ayat.[12]
Cara Al-Qur’an dalam Menetapkan Hukum Al-Qur’an diturunkan untuk memperbaiki sikap hidup manusia. Karena itu, Al-Qur’an berisi perintah dan larangan, Al-Qur’an memerintahkan yang baik dan melarang yang keji. Dalam bentuk hukum, Al-Qur’an selalu berpedoman kepada tiga hal: (1). Tidak memberatkan, (2) tidak memperbanyak tuntutan dan (3) berangsur-angsur dalam menetapkan hukum.
Cara Al-Qur’an dalam Menetapkan Hukum Al-Qur’an diturunkan untuk memperbaiki sikap hidup manusia. Karena itu, Al-Qur’an berisi perintah dan larangan, Al-Qur’an memerintahkan yang baik dan melarang yang keji. Dalam bentuk hukum, Al-Qur’an selalu berpedoman kepada tiga hal: (1). Tidak memberatkan, (2) tidak memperbanyak tuntutan dan (3) berangsur-angsur dalam menetapkan hukum.
1) Tidak memberatkan dan tidak menyulitkan umat
manusia karena hukum dalam Al-Qur’an tidak membebankan diluar kemampuan
manusia. Para fuqaha mencoba mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan
prinsip ini sehingga mereka berkesimpulan bahwa prinsip ini berlaku dalam
bidang ibadah, muamalah, dan jinayah.
2)
Tidak memperbanyak tuntutan karena jumlah ayat
yang mengandung hukum tidak banyak, kurang lebih dua ratus ayat saja. Dalam hal
ini apabila seseorang telah menuturkan 2 kalimat syahadat serta meyakinkan
kandungannya ia harus melaksanakan puasa, cukup sebulan dilakukan untuk setahun
dikerjakan pada siang hari, sedang waktu malam boleh mengerjakan perbuatan yang
tidak diperkenankan dalam berpuasa.
3) Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum,
karena Al-Qur’an diturunkan kepada bangsa Arab yang telah mempunyai
adat-istiadat yang kuat. Maka diantara adat istiadat yang perlu diteruskan
karena tidak bertentangan dengan ajaran islam, tetapi ada pula yang
bertentangan dengan ajaran islam yang perlu dihapuskan, namun dalam
menghapuskannya dengan bertahap dan berangsur-angsur.[13]
Kehujjahan Al-Qur’an
Kehujjahan Al-Qur’an
Ada beberapa alasan yang
dikemukakan ulama Ushul Fiqh tentang kewajiban berhujjah[14]
dengan Al-Qur’an, di antaranya adalah:
1. Al-Qur’an itu diturunkan kepada Rasulallah
SAW. Diketahui secara mutawatir, dan ini memberi keyakinan bahwa Al-Qur’an itu
benar-benar datang dari Allah melalui malaikat jibril kepada Muhammad SAW.
2.
Banyak ayat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an
itu datangnya dari Allah, diantaranya dalam surat Ali-Imran ayat 3:
Artinya: “Dia menurunkan Al-Kitab
(Al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelumnya dan menurunkan taurat dan injil.” (QS. Ali-Imran: 3).
3. Mukjizat Al-Qur’an juga merupakan dalil yang
pasti tentang kebenaran Al-Qur’an datang dari Allah SWT. Mukjizat Al-Qur’an,
bertujuan untuk menjelaskan kebenaran Nabi SAW. Yang membawa risalah Illahi
dengan suatu perbuatan yang di luar kebiasaan umat manusia.
4. Al-Qur’an Merupakan
Dalil Qath’i dan Zhanni
Al-Qur’an yang diturunkan secara
mutawatir, dari segi turunnya berkualitas qath’i (pasti benar). Akan tetapi,
hukum-hukum yang dikandung Al-Qur’an adakalanya bersifat qath’i dan adakalanya
bersifat zhanni ( relatif benar ).
5. Ayat yang bersifat qath’i adalah lafal-lafal
yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya.
Ayat-ayat seperti ini, misalnya, ayat-ayat waris, hudud, dan kaffarat.
Contohnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah:89:
Artinya: “maka
berpuasa selama tiga hari”
Puasa tiga
hari untuk kaffarat sumpah, menurut para ulama ushul fiqh mengandung hukum yang
qath’i dan tidak bisa dipahami dengan pengertian lain.[15]
Adapun
ayat-ayat yang mengandung hukum zhanni adalah lafal-lafal yang dalam Al-Qur’an
mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan.
Misalnya, lafal musytarak, (mengandung
pengertian ganda) yaitu kata quru’
yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 228. Kata quru’ merupakan lafal musytarak
yang mengandung dua makna, yaitu suci dan haid. Oleh sebab itu, apabila kata quru’ diartikan dengan suci, sebagaimana
yang dianut ulama syafi’iyah adalah boleh (benar) sebagaimana dianut ulama hanafiyah.
Al-Qur’an Sebagai Dalil Kulli dan juz’i
Al-Qur’an Sebagai Dalil Kulli dan juz’i
Al-Qur’an
sebagai sumber utama hukum islam menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya dengan cara:
1. Penjelasan rinci juz’i[16]
terhadap sebagian hukum-hukum yang dikandungnya, seperti yang berkaitan dengan
masalah akidah, hukum waris, hukum-hukum yang terkait dengan masalah pidana
hudud, dan kaffarat. Hukum-hukum yang rinci ini, menurut para ahli ushul fiqih
disebut hukum ta’abbudi yang tidak
bisa dimasuki oleh logika.
2. Penjelasan Al-Qur’an terhadap sebagian besar
hukum-hukum itu bersifat global kulli[17],
umum, dan mutlak, seperti dalam masalah shalat yang tidak dirinci berapa kali
sehari dikerjakan, berapa rakaat untuk satu kali shalat, apa rukun dan
syaratnya. Demikian pula dalam masalah zakat, tidak dijelaskan secara rinci
benda-benda yang wajib dizakatkan, berapa nisab zakat, dan berapa kadar yang harus
dizakatkan. Untuk hukum-hukum yang bersifat global, umum, dan mutlak ini,
Raulallah SAW. Melalui sunahnya, bertugas menjelaskan, mengkhususkan, dan
membatasinya.[18]
3. Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulallah SAW
tidaklah sekaligus, berbeda dengan turunnya Taurat kepada Nabi Musa. Al-Qur’an
turun sesuai dengan kejaidian/peristiwa dan kasus-kasus tertentu serta
menjelaskan hukum-hukumnya, memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan atau
jawaban terhadap permintaan fatwa. Contoh kasus seperti: larangan menikahi
wanita musyrik. Peristiwanya berkenaan dengan Martsad al-Ganawi yang meminta
izin kepada Nabi untuk menikahi wanita musyrikah, maka turun ayat:
Artinya:“ Dan
jangan kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman”. (al-baqarah:
221).
Pada umumnya
hukum-hukum dalam Al-Qur’an bersifat kulli dan bersifat umum, demikian pula
dalalahnya (penunjukannya) terhadap hukum kadang-kadang bersifat qath’i yaitu jelas dan tegas tidak bisa
ditafsirkan lain. Dan kadang-kadang bersifat dhani yaitu memungkinkan terjadinya beberapa penafsiran. Bidang
hukum yang lebih terperinci tentang pengaturannya dalam Al-Qur’an adalah
tentang bidang al-Ahwal Asyakhshiyah yaitu yang berkaitan dengan pernikahan dan
warisan.[19]
Sayyid Husein
Nasr berkata:” sebagai pedoman abadi, Al-Qur’an mempunyai tiga petunjuk bagi
manusia:
pertama
Al-Qur’an adalah ajaran yang memberi pengetahuan tentang susunan kenyataan alam
semesta dan posisi berbagai makhluk, termasuk manusia, serta benda dijagad
raya.
Kedua
Al-Qur’an berisi petunjuk yang menyerupai sejarah manusia sepanjang zaman.
ketiga
Al-Qur’an berisi sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dalam bahasa biasa. Disamping
itu Al-Qur’an juga mengandung tentang ajaran dunia akhirat. Dan menurut para
ahli, pada garis besarnya Al-Qur’an memuat soal-soal yang berkenaan dengan (1)
akidah, (2) syari’at, baik ibadah, maupun muamalah, (3) akhlak dalam semua
ruang lingkup, (4) kisah-kisah ummat manusia dimasa lalu, (berita-berita zaman
yang akan datang (kehidupan akhirat), dan (6) benih atau prinsip-prinsip ilmu
pengetahuan.[20] Dalam
kajian Ushul Fiqh, Al-Qur’an juga disebut dengan beberapa nama seperti:
a. AL-Kitab, artinya tulisan atau buku. Arti ini
mengingatkan pada kita kaum muslimin agar Al-Qur’an dibukukan atau ditulis
menjadi buku. Kata tersebut antara lain dapat kita jumpai dalam surat
Al-Baqarah ayat 2:
Artinya:
“kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa.”
b. Al-Furqan, artinya pembeda. Hal ini
mengingatkan pada kita agar dalam mencari garis pemisah antara yang hak dan
yang bathil, yang baik dan buruk haruslah merujuk padanya. Ini dapat dijumpai
antara lain dalam firman Allah SWT. Surat Al-Furqan ayat 1:
Artinya: “maha
suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (yaitu Al-Qur’an) kepada hamba-Nya,
agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. AL-Furqan: 1).
c. AL-Zikr, artinya ingat. Arti ini menunjukkan
bahwa AL-Qur’an berisi peringatan agar tuntutannya selalu diingat dalam
melakukan setiap tindakan.
d. AL-Huda, Artinya petunjuk. Arti ini
mengingatkan bahwa petunjuk tentang kebenaran hanyalah petunjuk yang diberikannya atau yang mempunyai rujukan kepada AL-Qur’an.[21]
e. Apabila kita teliti secara mendalam terhadap
rujukan syari’at kepada maknanya yang bersifat menyeluruh itu, maka akan kita
temui bahwa ia mencakup segala sesuatunya secara sempurna. Dalil-dalil di luar
Al-Qur’an adalah sunnah, ijma’ dan Qiyas yang kesemuanya sebenarnya terbit dari
Al-Qur’an. Berdasarkan hal ini, maka tidaklah memadai untuk melakukan istinbath
hukum dari Al-Qur’an tanpa meneliti penjelasannya yaitu As-Sunnah.[22].
D. Al-Sunnah As-Sunnah merupakan sumber hukum
islam yang kedua setelah Al-Qur’an, berupa perkataan, perbuatan, atau sikap
diam Rasulullah yang tercatat sekarang dalam kitab-kitab hadits. Ia merupakan
penafsiran serta penjelasan otentik tentang Al-Qur’an.[23]Istilah
al-sunah seringkali dipergunakan untuk ketetapan Rasulullah mengenai hukum
islam, bahkan termasuk dari para sahabatnya.[24]
Pengertian Al-Sunnah Al-Sunnah menurut istilah syara’
ialah hal-hal yang datang dari Rasulallah SAW, baik itu berupa ucapan, perbuatan,
atau taqrir. Al-Sunnah Qauliyah
(ucapan) yaitu: hadits-hadits Rasulallah SAW, yang diucapkan dalam berbagai tujuan
dan persesuaian (situasi). Lafal
Al-Sunnah artinya menurut bahasa ialah: jalan, seperti dalam firman Allah SWT:
Artinya: “dan
kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah”.
Al-Sunnah fi’liyah, yaitu:
perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti pekerjaan melakukan shalat lima
kali (sehari semalam) dengan sunnah kaifiyahnya,
(tata cara) dan rukun-rukunnya, pekerjaan menunaikan ibadah hajinya dan
pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari pihak penuduh.
Al-Sunnah taqririyah, yaitu: perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah
diikrarkan oleh Nabi SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan,
sedangkan ikrar itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, atau tidak
menunjukkan tanda-tanda ingkar atau menyetujuinya.
Kehujjahan Sunnah
Telah sepakat
ummat islam, bahwasannya apa yang keluar dari Rasulallah SAW, baik ucapan atau
perbuatan atau taqrir[25],
yang dimaksudkan dengan itu, membentuk hukum syari’at islam atau tuntunan, dan
disampaikan kepada kita dengan sanad yang shahih yang mendatangkan kepastian
atau dugaan yang kuat, maka kebenarannya itu sekaligus merupakan hujjah atas
ummat islam, yang oleh para Mujtahidin diistimbathkan daripadanya, hukum-hukum
syari’at mengenai perbuatan orang-orang mukallaf. Artinya bahwa hukum yang
datang dalam sunnah-sunnah ini adalah hukum-hukum yang datang di dalam
Al-Qur’an, sebagai undang-undang yang harus di ikuti. [26]
Bukti-bukti
atas kehujjahan al-sunnah banyak, yaitu:
Nash-nash
Al-Qur’an
Karena Allah
SWT dalam beberapa ayat kitab Al-Qur’an telah memerintahkan mentaati Rasul-Nya.
Menurut-Nya, taat kepada Rasul-Nya berarti taat kepada-Nya. Dia memerintahkan
umat islam, ketika mereka bertentangan dalam urusan sesuatu, untuk
mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia tidak membuat untuk orang
mukmin sesuatu pilihan ketika Dia dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu. Allah
SWT telah berfirman:
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya). (QS. An-Nisa:59).
Dengan itu
mendatangkan arti pasti, bahwasannya Allah mengharuskan mengikuti Rasul-Nya
terhadap apa yang di syari’atkannya.
a. Ijma’ Para Sahabat r.a. Semasa Hidup Nabi dan
Setelah Wafat-Nya Mengenai Keharusan Mengikuti Sunnah Nabi. Pada masa hidup
Nabi mereka melaksanakan hukum-hukumnya dan menjalanakan segala perintah serta
larangannya, hukum halal serta hukum haramnya. Dalam keharusan mengikuti mereka
tidak membedakan di antara hukum yang diwahyukan kepadanya dalam Al-Qur’an dan
hukum yang keluar dari Nabi sendiri. Mereka (para sahabat) setelah wafat Nabi,
apabila tidak mendapatkan di dalam kitabullah, hukumnya yang terjadi pada
mereka, maka mereka kembali kepada sunnah Rasulallah SAW.[27]
b. Dalam Al-Qur’an Allah
SWT telah mewajibkan kepada manusia beberapa ibadah fardhu secara global tanpa
penjelasan (secara rinci), tidak dijelaskan didalamnya mengenai hukum-hukumnya
atau cara memakainya (melaksanakannya). Maka Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dirikanlah
sembahyang dan tunaikanlah zakat!" (QS. An-Nisa:77)
Dan ayat lain yang berbunyi:
Artinya: “
diwajibkan atas kamu berpuasa”. (QS. Al-Baqarah:183).
Ayat lain lagi
yang berbunyi:
Artinya:
“mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah”. (QS. Ali-Imron:97).
Tetapi Allah tidak menjelaskan
tentang bagaimana didirikan shalat atau ditunaikan zakat atau puasa dan atau
amal ibadah Haji. Rasulallah SAW telah menjelaskan keglobalan ini dengan sunnah
qauliyahnya atau sunnah amaliyahnya.
Nisabnya
Kepada Al-Qur’an.
Adapun
hubungan As-Sunnah terhadap Al-Qur’an dari segi dijadikannya hujjah, dan
kembali kepadanya dalam mengeluarkan hukum-hukum syari’at, ialah menjadi urutan
yang mengiringinya (urutan kedua). Yaitu seorang mujtahid tidak akan kembali
kepada Al-Sunnah ketika membahas suatu kejadian, kecuali apabila dia tidak
mendapati dalam Al-Qur’an, hukum sesuatu yang hendak dia ketahui hukumnya.
Karena Al-Qur’an adalah sumber pokok dalam pembentukan hukum islam dan sebagai
sumber yang pertama.[28] Sedangkan hubungannya dari segi hukum
yang datang di dalamnya, maka tidaklah melebihi salah satu di antara tiga hal
berikut ini:
Adakalanya Al-Sunnah itu
menetapkan atau mengukuhkan hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an. Adakalanya
Al-Sunnah itu merinci, menafsiri hal-hal yang telah datang di dalam Al-Qur’an
secara global, atau membatasi hal-hal yang datang dalam Al-Qur’an secara
mutlak, atau mentakhsis hal-hal yang terdapat di dalam Al-Qur’an secara umum. Adakalanya, Al-Sunnah itu menetapkan dan
membentuk hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Jadi hukum ini ditetapkan
oleh sunnah, dan nash Al-Qur’an tidak menunjukkan padanya. Di antaranya ialah
keharaman menghimpun wanita dengan bibinya (saudara ayah atau ibu) bersama-sama
dijadikan istri.[29]
Pembagian Sunnah
Dengan mengambil i’tibar dari sunnah Rasulallah, maka sunnah itu dapat dibagi atas tiga bagian.
Dengan mengambil i’tibar dari sunnah Rasulallah, maka sunnah itu dapat dibagi atas tiga bagian.
a.
Sunnah Mutawatir
Ialah apa yang dirawikan dari Rasulallah itu,
semua orang sepakat mengatakan, hadis ini tidak bohong. Karena orang yang
merawikannya itu banyak. Semuanya itu dapat dipercaya. Diantara yang termasuk
dalam bagian ini yaitu sunah amaliah tentang mengerjakan sembahyang, puasa,
haji, azan dan lain-lain.
b.
Sunnah Masyhur
Ialah orang yang merawikan hadis dari
Rasulallah itu hanya seorang, atau dua orang, atau tiga orang, atau lebih. Tapi
belum sampai ke batas mutawatir. Sudah itu yang merawikan dari jumlah ini seperti
itu pula, sehingga sampai kepada kita dengan sanad. Pada tingkat pertama mereka
mendengar langsung dari Rasul, atau menyaksikan perbuatan Rasul itu. Seorang,
atau dua orang, atau tiga orang, atau lebih, tapi belum sampai kepada jumlah
mutawatir.
c.
Sunnah Uhad
Yang merawikannya itu hanya seorang, atau dua
orang, atau jama’, tidak sampai ke batas mutawatir. Yang merawikan berikutnya
dan berikutnya itu sama saja. Sampai kepada kita demikianlah keadaannya. Setiap
tingkat sanadnya itu hanya seorang.[30]
Qath’i
dan Dzan
Dari segi datangnya, sunnah mutawatir
itu adalah pasti datangnya dari Rasul SAW. Karena bertubi-tubinya (tawatur)
pemindahan itu mendatangkan ketetapan dan kepastian akan sahnya berita.
Sedangkan sunnah masyhuroh adalah pasti datangnya dari seorang sahabat atau
para sahabat yang telah menerimanya dari Rasul SAW. Karena ia datangnya dari
sahabat, sedangkan sahabat adalah hujjah terpercaya mengenai penukilan hadis
dari Rasulallah SAW.
Sunnah Aahad adalah dugaan
(zhonniyah) dari Rasul SAW, karena sanadnya tidak mendatangkan kepastian.
Adapun dari segi pengertian
(dalalah) setiap sunnah dari tiga bagian tersebut terkadang pasti dalalahnya,
apabila nashnya tidak ada kemungkinan untuk ditakwilkan, dan terkadang dugaan
dalalahnya, apabila nashnya mungkin di takwilkan.
Dengan mengadakan perbandingan
diantara nash-nash Al-Qur’an dan nash-nash Al-Sunnah dari qoth’inya dan
zhonninya, maka menghasilkan kesimpulan bahwa nash-nash Al-Qur’an itu semuanya
adalah pasti datangnya, di antaranya ada yang pasti dalalahnya dan ada yang
zhonni dalalahnya. Sedangkan Al-Sunnah, di antaranya ada yang pasti datangnya
dan ada yang zhonni datangnya. Masing-masing terkadang qoth’i dalalahnya dan
terkadang zhonni dalalahnya.
Di Antara
Ucapan dan Perbuatan Rasul SAW Yang Bukan Merupakan Hukum Syari’at Islam.
Diantara ucapan dan perbuatan Rasul
SAW adalah merupakan hujjah ummat islam yang harus diikuti, apabila hal itu
keluar daripadanya dengan kualitas beliau itu sebagai utusan Allah SWT, dan
dimaksudkan dengan itu membentuk hukum syari’at islam secara umum.
Hal itu karena Rasulallah SAW juga
adalah manusia seperti manusia-manusia lainnya yang dipilih oleh Allah sebagai
utusan kepada mereka seperti telah difirmankan oleh Allah:
Artinya:” Katakanlah,
Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku”. (QS. Al-Kahfi: 110).[31]
1.
Hal-hal yang keluar daripada Rasulallah SAW yang
bersifat naluri kemanusiaan, seperti berdiri, duduk, berjalan, tidur, makan,
minum, semua itu bukan merupakan hukum syari’at (islam). Karena hal ini
bukanlah bersumber kepada tugas (risalah) nya, melainkan bersumber kepada
naluri kemanusiaan.
2.
Hal-hal yang keluar daripada Rasulallah SAW
yang bersifat pengetahuan kemanusiaan, kepandaian, dan beberapa eksperimen
duniawi, seperti hal sewa-menyewa, pertanian, mengatur pasukan, strategi
peperangan dan sebagainya. Semua ini juga bukan hukum syari’at islam.
3.
Hal-hal yang keluar dari Rasulallah dan dalil
syar’i yang menunjukkan atas kekhususan hal ini bagi Nabi, dan bahwasannya ia
bukan tuntunan, maka ia bukanlah hukum syari’at islam secara umum, seperti
diperbolehkannya beliau menikah lebih dari empat istri. Karena firman Allah
yang berbunyi:
Artinya:”Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat”. (QS.
An-Nisa: 3).
Adalah bahwa
batas maksimal bilangan istri adalah empat. Dan seperti keputusannya dalam
menetapkan dakwaan dengan penyaksian khuzaimah seorang diri, karena nash-nash
telah jelas bahwasanya saksi nyata (bayyinah) itu adalah dua saksi. Dipelihara
pula bahwa keputusan Rasul SAW dalam perselisihannya itu mencakup 2 hal, yakni:Menetapkan
kejadian-kejadian danSebagai keputusannya terhadap kepastian atas ketetapan
kejadian itu. Menetapkan
kejadian adalah hal yang dikuasai olehnya (kemampuan baginya), bukan membentuk
hukum syari’at (islam), sedangkan keputusannya setelah memastikan ketetapan
kejadian adalah berarti pembentukan hukum syari’at islam.[32]
penutup
Dari dari
pembahasan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Bahwa Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang
diturunkan kepada Rasulullah saw melalui malaikat Jibril dan sebagai sumber
hukum islam yang pertama dan utama dalam menentukan hukum fiqih.
2.
Assunah merupakan perbuatan maupun perkataan
Rasulullah saw dan sebagai sumber hukum islam yang kedua, setelah Al-Qur’an.
3. Bahwa sumber-sumber hukum islam adalah segala
sesuatu yang berkenaan dengan ibadah, muamalah,dan lain sebagainya.
4.
Sumber-sumber hukum islam yang disepakati para
ulama yaitu berupa Al-Qur’an dan Assunah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab
Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996)
Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993)
Anwar Harjono,
Hukum islam keluasan dan keadilannya, (Jakarta: Bulan Bintang,1968)
Asywadie
Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul
Fikih, (Surabaya: Bina
Ilmu,1990)
Chaerul
Uman.dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung:
Pustaka Setia, 2000)
Dede Rosyada, Hukum
Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999)
Hanafie, Ushul
Fiqh,( Jakarta: widjaya,1989)
Mohammad Daud
Ali, Pengantar Ilmu Hukum Islam dan Tata
Hukum di Indonesia, (Jakarata: Rajawali Pers,1998)
Mohammad Daud
Ali, Hukum Islam, (Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 2007)
Sulaiman
Abdullah, Sumber Hukum Islam,(Jakarta: Sinar Grafika, 1995).
[1]
Chaerul Uman dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung,
Pustaka Setia, 2000), halm. 31
[2]
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam,
(Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007), halm.78-79
[3]
Hukum syara’ adalah seperangkat peraturan yang berupa ketentuan Allah tentang
tingkah laku manusia.
[4]
Chaerul Uman, Loc. Cit.
[5]
Ruhul Amin: julukan untuk malaikat Jibril.
[6]
Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan
Ushul Fikih, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990), halm. 50-51
[7]
Menurut Jumhur Ulama berdasarkan
hadist yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Aisyah.
[8]
Ibid., halm. 152
[9]
Anwar Harjono, Hukum Islam Keluasan dan
Keadilannya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), halm. 96
[10]
Riwayat dan ceritera yaitu sejarah orang-orang yang mau tunduk kepada agama
Allah dan mau menjalankan hukum-hukumnya. Maksudnya ialah untuk menjadi
tauladan bagi orang-orang yang hendak mencari kebahagiaan.
[11]
Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya,1989),halm.103
[12]
Op.cit., halm. 53-54
[13] Ibid.,
halm. 67-68
[14]
Berhujjah: istilah yang sering digunakan dalam al-qur’an yang bermaknatanda,
bukti dalil, alasan atau argumentasi (memberikan alasan-alasan).
[15]
Chaerul Uman, Op.Cit., halm. 50-52
[16]
Juz’i artinya tidak satu persatunya soal dibicarakan.
[17]
Kulli artinya tidak membicarakan soal-soal yang kecil-kecil/ bersifat umum.
[18]
Ibid., halm. 53-55
[19]
Asywadie Syukur, Op.Cit., halm. 52
[20]
Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum
Islam dan Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta, Rajawali Pers, 1998), halm.
72-75
[21]
Chaerul Uman dkk, Op. Cit., halm.
33-35
[22]
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam,
(Jakarta: Sinar Grafika, 1995), halm. 20
[23]
Mohammad Daud Ali, Op. Cit., halm. 97
[24]
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta:Raja Grafindo
Persada,1999),halm.34
[25]
Arti taqrir Nabi ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan
atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di
hadapan beliau. Contohnya diamnya Nabi terhadap perempuan yang keluar rumah,
jalan pergi ke masjid, dan mendengarkan ceramah yang memang diundang untuk
kepentingan suatu pertemuan.
[26]
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum
Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1996), halm. 47-49
[27]
Ibid., halm. 50-52
[28]
Ibid., halm. 53
[29]
Ibid., halm. 54-55
[30]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih,
(Jakarta, Rineka Cipta, 1993), halm. 44-45
[31]
Abdul Wahhab Khallaf, Op.Cit., halm.
59-60
[32]
Ibid., halm. 61-62
0 Response to "Sumber dan Dalil-Dalil Hukum Islam (Al-Quran dan sunnah) "
Post a Comment