WELCOME TO MY BLOG

(BABUL 'ILMI)

Sumber dan Dalil-Dalil Hukum Islam (Al-Quran dan sunnah)



Sumber dan Dalil-Dalil Hukum Islam
(Al-Quran dan sunnah)

Oleh:
Suherna
purwendi
Aprillia Ratna Sari
IAIN Raden Intan Lampung

Abstrak
Manusia tanpa beralquran maka hidupnya tanpa ada arti,sesat,bimbang,dan kacau balau. Karena Al-quran mengandung dasar-dasar keimanan, sendi peribadatan, pegangan hidup dalam pergaulan antar-manusia dan petunjuk tentang akhlak mulia, mengandung juga prinsip-prisip hukum, walaupun tidak banyak. Setelah beralquran adalah sumber hukum al sunah,al sunah seringkali dipergunakan untuk ketetapan Rasulullah mengenai hukum islam,bahkan termasuk dari para sahabatnya.
Kata-kata kunci: Al-Qur’an dan  al-sunah

A.      Pengantar                                                                                                          
Al-Qur’an dan As-sunnah merupakan sumber hukum islam yang utama yang saling berkaitan dan tidak bisa saling dipisahkan satu sama lain. Hal ini karena tidak ada sumber melainkan dua sumber diatas, hukum seluruhnya termaktub dalam al-qur’an dan assunah sebagai penjelas al-quran. Maka dari itu penting sekali bagi umat muslim untuk memahami al-qur’an dan assunah dalam perannya, pada dasarnya dua sumber inilah yang selalu diutamakan dalam mencari ketetapan hukum.sebagaimana kesepakatan para ulama yang berbeda madzhab, bahwa seluruh tindakan manusia (ucapan, perbuatan dalam ibadah dan muamalah) terdapat hukum-hukum tersebut sebagaimana telah dijelaskan didalam nash al-qur’an dan assunah.
B.       Pengertian Sumber dan Dalil
Sumber secara etimologi berarti asal dari segala sesuatu atau tempat merujuk sesuatu. Dan dalil berarti petunjuk pada sesuatu, baik yang bersifat material maupun nonmaterial. Adapun secara terminologi dalam ushul fiqh, sumber diartikan sebagai rujukan yang pokok/utama dalam menetapkan hukum islam.[1]                              
Yang dimaksud sumber fiqih ialah asal pengambilan ketentuan-ketentuan fikih. Sumber fiqih islam terdiri dari dua macam sumber yaitu sumber formal yang berasal dari wahyu, baik wahyu yang berupa Al-Qur’an yang dinamakan “wahyu matluw” maupun yang berupa sunnah yang dinamakan “wahyu khafi”.[2]                                 
Sedang dalil mengandung pengertian sebagai suatu petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam memperoleh hukum syara[3] yang bersifat praktis. Baik yang kedudukannya qath’I (pasti) atau zhanni (relatif).[4]
C.      Al-Qur’an Sebagai Sumber dan Dalil Hukum                                                                                     
Pengertian Al-Qur’an                                                                                                              
          Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang pertama dan utama. Ia memuat kaidah-kaidah hukum islam, Al-Qur’an adalah kitab suci yang memuat wahyu, (firman) Allah, tuhan yang maha Esa, asli seperti yang disampaikan malaikat jibril kepada Nabi muhammad sebagai rasul-Nya sedikit demi sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari selama 13 tahun, waktu nabi masih tinggal di Makkah sebelum hijrah dan 10 tahun sesudah hijrah ke Madinah.
Kata Al-Qur’an yang berasal dari kata qaraa yang dapat diartikan membaca, namun yang dimaksud Al-Qur’an dalam uraian ini adalah “kalamullah yang diturunkan oleh ruhul amin[5] kepada Muhammad Rasulallah dalam bahasa arab dan pengertiannya benar, agar menjadi hujjah bagi rasul bahwa ia adalah Rasul allah, menjadi dustur bagi orang-orang yang mengikuti petunjuknya, menjadi ibadah bagi orang yang membacanya. Ia ditulis diatas lembaran mushab, dimulai dari surah Al-fatihah dan berakhir dengan surah An-nas yang disampaikan kepada kita dengan secara mutawatir, baik melalui tulisan atau bacaan dari satu generasi terpelihara dari perubahan dan penggantian.
Karena itu, tafsir atau terjemahan Al-Qur’an dengan bahasa Arab atau bahasa lainnya, sekalipun terjemahan itu gaya bahasanya begitu tinggi, tidak dapat dikatakan Al-Qur’an yang dapat dijadikan sumber fikih islam, karena bahasa Arab yang menjadi bahasa Al-Qur’an mengandung rahasia dan pengertian yang luas dari bahasa lain.[6]
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang hukum kebanyakannya bersifat umum, Ayat Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan pada bulan Ramadhan pada tahun ke-41 dari kelahiran Muhammad SAW sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya:

Artinya: “Bulan Ramadhan, bulan yang dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (Q.S. Al-Baqarah 185).
Ayat yang pertama ialah awal surah Al- ‘Alaq[7]. Namun menurut riwayat dari Jabir yang pertama diturunkan adalah awal-surah Al-Mudasir, tetapi kedua riwayat ini dapat dihimpunkan ialah ayat yang pertama yang diturunkan adalah awal surah Al-‘Alaq dan sesudah beberapa waktu wahyu terputus turunlah surah yang lengkap ialah surah Al-Mudasir (3).
                                                                              
 Menurut yang diriwayatkan oleh Thabari dari Hasan bin Ali bahwa turunnya ayat yang pertama bertepatan dengan terjadinya pertempuran Badar, sedang hari pertempuran badar terjadi pada tanggal 17 Ramadhan sebagaimana yang di isyaratkan dalam ayat:

Artinya: “jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari furqan yaitu di hari bertemunya dua pasukan.” (Al-Anfal 41).
Dan menurut yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ayat yang terakhir turunnya adalah ayat yang diturunkan pada hari wuquf di Arafah pada hari jum’at ialah ayat:          
Artinya: “pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan  telah Ku cukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan telah Ku ridhai islam itu jadi agama bagimu.” (Q.S Al-Maidah 30).                                                                            
             Ayat-ayat Al-Qur’an  yang berhubungan dengan hukum kadang-kadang dilalahnya (pengertiannya) qath’iyah jelas) dan kadang-kadang dilalahnya zanniyah (kurang jelas). Yang dimaksud dengan dilalah qath’iyah ialah menunjuk pengertian hukum tertentu yang tidak akan tergambar adanya pengertian lain. Dan yang dimaksud dengan dilalah zanniyah ialah yang mungkin timbul ada beberapa pengertian dalam nash yang satu.[8]                                                                                                                                    
        Maksud utama Al-Qur’an ialah menggugah kesadaran tinggi yang ada pada manusia tentang hubungannya yang serba segi itu dengan Tuhan dan alam semesta.[9]                                                         Hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an pada garis besarnya dapat dibagi menjadi tiga macam:                                                                                        
           pertama Hukum-hukum yang menyangkut keprcayaan (akidah) yang menjadi kewajiban para mukalaf meyakininya ialah tentang keyakinan adanya Allah, malaikat, kitab-kitab Allah, Rasul-rasul, hari akhirat dan takdir.                                      
           Kedua Hukum-hukum yang bersangkut paut dengan akhlak yang menjadi kewajiban bagi para mukallaf bersifat dengan sifat yang terpuji dan menjauh dari sifat yang tercela.                                                                                                                                   
             Ketiga Hukum-hukum yang menyangkut perbuatan, perkataan yang lahir dari manusia. Hukum yang seperti inilah yang dinamakan fikih. Mengenai bentuk yang terakhir ini dapat pula dibagi menjadi dua:                                                                                            
            Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan tuhannya yang disebut dengan ibadah bersifat tetap, tidak menerima perubahan dan harus dikerjakan sebagaimana yang diterapkan. Hukum-hukum yang mengatur pergaulan hidup manusia sesamanya, yaitu disebut fikih muamalah. Hukum dalam bentuk ini hanya disebutkan dasar-dasarnya saja, tidak dengan secara mendetail.             Pokok-pokok Al-Qur’an yaitu: Tauhid (meesakan Tuhan), Ibadah, janji dan ancaman; al-qur’an menjanjijkan pahala bagi orang yang mau menerima isi qur’an dan mengancam mereka yang mengingkarinya dengan siksa , riwayat dan ceritera[10], jalan mencapai kebahagian dunia dan akhirat.[11]                   Jumlah surah dalam Al-Qur’an Ahlu Sunnah sebanyak 114 surah dan jumlah ayat-ayat sebanyak 6342, jumlah ayat yang pribadi sebanyak 70 ayat, hukum perdata sebanyak 70 ayat, hukum pidana sebanyak 30 ayat, hukum acara pidana sebanyak 13 ayat, hukum internasional sebanyak 25 ayat, hukum Ekonomi dan keluarga sebanyak 10 ayat.[12]                                                                              
Cara Al-Qur’an dalam Menetapkan Hukum                                                                                         Al-Qur’an diturunkan untuk memperbaiki sikap hidup manusia. Karena itu, Al-Qur’an berisi perintah dan larangan, Al-Qur’an memerintahkan yang baik dan melarang yang keji. Dalam bentuk hukum, Al-Qur’an selalu berpedoman kepada tiga hal: (1). Tidak memberatkan, (2) tidak memperbanyak tuntutan dan (3) berangsur-angsur dalam menetapkan hukum.
1) Tidak memberatkan dan tidak menyulitkan umat manusia karena hukum dalam Al-Qur’an tidak membebankan diluar kemampuan manusia. Para fuqaha mencoba mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan prinsip ini sehingga mereka berkesimpulan bahwa prinsip ini berlaku dalam bidang ibadah, muamalah, dan jinayah.
2)  Tidak memperbanyak tuntutan karena jumlah ayat yang mengandung hukum tidak banyak, kurang lebih dua ratus ayat saja. Dalam hal ini apabila seseorang telah menuturkan 2 kalimat syahadat serta meyakinkan kandungannya ia harus melaksanakan puasa, cukup sebulan dilakukan untuk setahun dikerjakan pada siang hari, sedang waktu malam boleh mengerjakan perbuatan yang tidak diperkenankan dalam berpuasa.
3)  Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum, karena Al-Qur’an diturunkan kepada bangsa Arab yang telah mempunyai adat-istiadat yang kuat. Maka diantara adat istiadat yang perlu diteruskan karena tidak bertentangan dengan ajaran islam, tetapi ada pula yang bertentangan dengan ajaran islam yang perlu dihapuskan, namun dalam menghapuskannya dengan bertahap dan berangsur-angsur.[13]        
                                        
Kehujjahan Al-Qur’an                                                                                                 
Ada beberapa alasan yang dikemukakan ulama Ushul Fiqh tentang kewajiban berhujjah[14] dengan Al-Qur’an, di antaranya adalah:
1.  Al-Qur’an itu diturunkan kepada Rasulallah SAW. Diketahui secara mutawatir, dan ini memberi keyakinan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah melalui malaikat jibril kepada Muhammad SAW.
2.  Banyak ayat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu datangnya dari Allah, diantaranya dalam surat Ali-Imran ayat 3:


Artinya: “Dia menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan taurat dan injil.” (QS. Ali-Imran: 3). 
3. Mukjizat Al-Qur’an juga merupakan dalil yang pasti tentang kebenaran Al-Qur’an datang dari Allah SWT. Mukjizat Al-Qur’an, bertujuan untuk menjelaskan kebenaran Nabi SAW. Yang membawa risalah Illahi dengan suatu perbuatan yang di luar kebiasaan umat manusia.                                                                                                       
4.   Al-Qur’an Merupakan Dalil Qath’i dan Zhanni                                                                       
Al-Qur’an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi turunnya berkualitas qath’i (pasti benar). Akan tetapi, hukum-hukum yang dikandung Al-Qur’an adakalanya bersifat qath’i dan adakalanya bersifat zhanni ( relatif benar ).                                      
5.  Ayat yang bersifat qath’i adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya. Ayat-ayat seperti ini, misalnya, ayat-ayat waris, hudud, dan kaffarat. Contohnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah:89:

Artinya: “maka berpuasa selama tiga hari”
Puasa tiga hari untuk kaffarat sumpah, menurut para ulama ushul fiqh mengandung hukum yang qath’i dan tidak bisa dipahami dengan pengertian lain.[15]
Adapun ayat-ayat yang mengandung hukum zhanni adalah lafal-lafal yang dalam Al-Qur’an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan. Misalnya, lafal musytarak, (mengandung pengertian ganda) yaitu kata quru’ yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 228. Kata quru’ merupakan lafal musytarak yang mengandung dua makna, yaitu suci dan haid. Oleh sebab itu, apabila kata quru’ diartikan dengan suci, sebagaimana yang dianut ulama syafi’iyah adalah boleh (benar) sebagaimana dianut ulama hanafiyah. 

Al-Qur’an Sebagai Dalil Kulli dan juz’i                                                                     
 Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum islam menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dengan cara:
1.  Penjelasan rinci juz’i[16] terhadap sebagian hukum-hukum yang dikandungnya, seperti yang berkaitan dengan masalah akidah, hukum waris, hukum-hukum yang terkait dengan masalah pidana hudud, dan kaffarat. Hukum-hukum yang rinci ini, menurut para ahli ushul fiqih disebut hukum ta’abbudi yang tidak bisa dimasuki oleh logika.
2.   Penjelasan Al-Qur’an terhadap sebagian besar hukum-hukum itu bersifat global kulli[17], umum, dan mutlak, seperti dalam masalah shalat yang tidak dirinci berapa kali sehari dikerjakan, berapa rakaat untuk satu kali shalat, apa rukun dan syaratnya. Demikian pula dalam masalah zakat, tidak dijelaskan secara rinci benda-benda yang wajib dizakatkan, berapa nisab zakat, dan berapa kadar yang harus dizakatkan. Untuk hukum-hukum yang bersifat global, umum, dan mutlak ini, Raulallah SAW. Melalui sunahnya, bertugas menjelaskan, mengkhususkan, dan membatasinya.[18]                                 
3. Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulallah SAW tidaklah sekaligus, berbeda dengan turunnya Taurat kepada Nabi Musa. Al-Qur’an turun sesuai dengan kejaidian/peristiwa dan kasus-kasus tertentu serta menjelaskan hukum-hukumnya, memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan atau jawaban terhadap permintaan fatwa. Contoh kasus seperti: larangan menikahi wanita musyrik. Peristiwanya berkenaan dengan Martsad al-Ganawi yang meminta izin kepada Nabi untuk menikahi wanita musyrikah, maka turun ayat:

Artinya:“ Dan jangan kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman”. (al-baqarah: 221).
Pada umumnya hukum-hukum dalam Al-Qur’an bersifat kulli dan bersifat umum, demikian pula dalalahnya (penunjukannya) terhadap hukum kadang-kadang bersifat qath’i yaitu jelas dan tegas tidak bisa ditafsirkan lain. Dan kadang-kadang bersifat dhani yaitu memungkinkan terjadinya beberapa penafsiran. Bidang hukum yang lebih terperinci tentang pengaturannya dalam Al-Qur’an adalah tentang bidang al-Ahwal Asyakhshiyah yaitu yang berkaitan dengan pernikahan dan warisan.[19]             
Sayyid Husein Nasr berkata:” sebagai pedoman abadi, Al-Qur’an mempunyai tiga petunjuk bagi manusia:                                                                                                          
pertama Al-Qur’an adalah ajaran yang memberi pengetahuan tentang susunan kenyataan alam semesta dan posisi berbagai makhluk, termasuk manusia, serta benda dijagad raya.                                                                                            
Kedua Al-Qur’an berisi petunjuk yang menyerupai sejarah manusia sepanjang zaman.                                                                                                                                                   
 ketiga Al-Qur’an berisi sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dalam bahasa biasa. Disamping itu Al-Qur’an juga mengandung tentang ajaran dunia akhirat. Dan menurut para ahli, pada garis besarnya Al-Qur’an memuat soal-soal yang berkenaan dengan (1) akidah, (2) syari’at, baik ibadah, maupun muamalah, (3) akhlak dalam semua ruang lingkup, (4) kisah-kisah ummat manusia dimasa lalu, (berita-berita zaman yang akan datang (kehidupan akhirat), dan (6) benih atau prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.[20]             Dalam kajian Ushul Fiqh, Al-Qur’an juga disebut dengan beberapa nama seperti:
a.  AL-Kitab, artinya tulisan atau buku. Arti ini mengingatkan pada kita kaum muslimin agar Al-Qur’an dibukukan atau ditulis menjadi buku. Kata tersebut antara lain dapat kita jumpai dalam surat Al-Baqarah ayat 2:

Artinya: “kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”
b.   Al-Furqan, artinya pembeda. Hal ini mengingatkan pada kita agar dalam mencari garis pemisah antara yang hak dan yang bathil, yang baik dan buruk haruslah merujuk padanya. Ini dapat dijumpai antara lain dalam firman Allah SWT. Surat Al-Furqan ayat 1:

Artinya: “maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (yaitu Al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. AL-Furqan: 1).
c.    AL-Zikr, artinya ingat. Arti ini menunjukkan bahwa AL-Qur’an berisi peringatan agar tuntutannya selalu diingat dalam melakukan setiap tindakan.
d.  AL-Huda,  Artinya petunjuk.  Arti ini mengingatkan bahwa petunjuk tentang kebenaran hanyalah petunjuk yang diberikannya atau yang mempunyai rujukan kepada AL-Qur’an.[21]                                                                                                                  
e.  Apabila kita teliti secara mendalam terhadap rujukan syari’at kepada maknanya yang bersifat menyeluruh itu, maka akan kita temui bahwa ia mencakup segala sesuatunya secara sempurna. Dalil-dalil di luar Al-Qur’an adalah sunnah, ijma’ dan Qiyas yang kesemuanya sebenarnya terbit dari Al-Qur’an. Berdasarkan hal ini, maka tidaklah memadai untuk melakukan istinbath hukum dari Al-Qur’an tanpa meneliti penjelasannya yaitu As-Sunnah.[22].
D. Al-Sunnah                                                                                                                                 As-Sunnah merupakan sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an, berupa perkataan, perbuatan, atau sikap diam Rasulullah yang tercatat sekarang dalam kitab-kitab hadits. Ia merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang Al-Qur’an.[23]Istilah al-sunah seringkali dipergunakan untuk ketetapan Rasulullah mengenai hukum islam, bahkan termasuk dari para sahabatnya.[24]                                                       
            Pengertian Al-Sunnah                                                                                                                         Al-Sunnah menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulallah SAW, baik itu berupa ucapan, perbuatan, atau taqrir. Al-Sunnah Qauliyah (ucapan) yaitu: hadits-hadits Rasulallah SAW, yang diucapkan dalam berbagai tujuan dan persesuaian (situasi).                                                                          Lafal Al-Sunnah artinya menurut bahasa ialah: jalan, seperti dalam firman Allah SWT:

Artinya: “dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah”.
Al-Sunnah fi’liyah, yaitu: perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti pekerjaan melakukan shalat lima kali (sehari semalam) dengan sunnah kaifiyahnya, (tata cara) dan rukun-rukunnya, pekerjaan menunaikan ibadah hajinya dan pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari pihak penuduh.                
Al-Sunnah taqririyah, yaitu: perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh Nabi SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, atau tidak menunjukkan tanda-tanda ingkar atau menyetujuinya.        
    
Kehujjahan Sunnah                                                                                        
Telah sepakat ummat islam, bahwasannya apa yang keluar dari Rasulallah SAW, baik ucapan atau perbuatan atau taqrir[25], yang dimaksudkan dengan itu, membentuk hukum syari’at islam atau tuntunan, dan disampaikan kepada kita dengan sanad yang shahih yang mendatangkan kepastian atau dugaan yang kuat, maka kebenarannya itu sekaligus merupakan hujjah atas ummat islam, yang oleh para Mujtahidin diistimbathkan daripadanya, hukum-hukum syari’at mengenai perbuatan orang-orang mukallaf. Artinya bahwa hukum yang datang dalam sunnah-sunnah ini adalah hukum-hukum yang datang di dalam Al-Qur’an, sebagai undang-undang yang harus di ikuti. [26]    
Bukti-bukti atas kehujjahan al-sunnah banyak, yaitu:                                                
 Nash-nash Al-Qur’an                                                                                    
Karena Allah SWT dalam beberapa ayat kitab Al-Qur’an telah memerintahkan mentaati Rasul-Nya. Menurut-Nya, taat kepada Rasul-Nya berarti taat kepada-Nya. Dia memerintahkan umat islam, ketika mereka bertentangan dalam urusan sesuatu, untuk mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia tidak membuat untuk orang mukmin sesuatu pilihan ketika Dia dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu. Allah SWT telah berfirman:

Artinya: “  Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya). (QS. An-Nisa:59).
Dengan itu mendatangkan arti pasti, bahwasannya Allah mengharuskan mengikuti Rasul-Nya terhadap apa yang di syari’atkannya.
a.  Ijma’ Para Sahabat r.a. Semasa Hidup Nabi dan Setelah Wafat-Nya Mengenai Keharusan Mengikuti Sunnah Nabi. Pada masa hidup Nabi mereka melaksanakan hukum-hukumnya dan menjalanakan segala perintah serta larangannya, hukum halal serta hukum haramnya. Dalam keharusan mengikuti mereka tidak membedakan di antara hukum yang diwahyukan kepadanya dalam Al-Qur’an dan hukum yang keluar dari Nabi sendiri. Mereka (para sahabat) setelah wafat Nabi, apabila tidak mendapatkan di dalam kitabullah, hukumnya yang terjadi pada mereka, maka mereka kembali kepada sunnah Rasulallah SAW.[27]
b.     Dalam Al-Qur’an   Allah SWT telah mewajibkan kepada manusia beberapa ibadah fardhu secara global tanpa penjelasan (secara rinci), tidak dijelaskan didalamnya mengenai hukum-hukumnya atau cara memakainya (melaksanakannya). Maka Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" (QS. An-Nisa:77)
Dan ayat lain yang berbunyi:

Artinya: “ diwajibkan atas kamu berpuasa”. (QS. Al-Baqarah:183).
Ayat lain lagi yang berbunyi:

Artinya: “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah”. (QS. Ali-Imron:97).
Tetapi Allah tidak menjelaskan tentang bagaimana didirikan shalat atau ditunaikan zakat atau puasa dan atau amal ibadah Haji. Rasulallah SAW telah menjelaskan keglobalan ini dengan sunnah qauliyahnya atau sunnah amaliyahnya.                    
   
Nisabnya Kepada Al-Qur’an.                                                                         
Adapun hubungan As-Sunnah terhadap Al-Qur’an dari segi dijadikannya hujjah, dan kembali kepadanya dalam mengeluarkan hukum-hukum syari’at, ialah menjadi urutan yang mengiringinya (urutan kedua). Yaitu seorang mujtahid tidak akan kembali kepada Al-Sunnah ketika membahas suatu kejadian, kecuali apabila dia tidak mendapati dalam Al-Qur’an, hukum sesuatu yang hendak dia ketahui hukumnya. Karena Al-Qur’an adalah sumber pokok dalam pembentukan hukum islam dan sebagai sumber yang pertama.[28] Sedangkan hubungannya dari segi hukum yang datang di dalamnya, maka tidaklah melebihi salah satu di antara tiga hal berikut ini:                                                   
Adakalanya Al-Sunnah itu menetapkan atau mengukuhkan hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an.   Adakalanya Al-Sunnah itu merinci, menafsiri hal-hal yang telah datang di dalam Al-Qur’an secara global, atau membatasi hal-hal yang datang dalam Al-Qur’an secara mutlak, atau mentakhsis hal-hal yang terdapat di dalam Al-Qur’an secara umum.     Adakalanya, Al-Sunnah itu menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Jadi hukum ini ditetapkan oleh sunnah, dan nash Al-Qur’an tidak menunjukkan padanya. Di antaranya ialah keharaman menghimpun wanita dengan bibinya (saudara ayah atau ibu) bersama-sama dijadikan istri.[29]                    
Pembagian Sunnah                                                                                                      
 Dengan mengambil i’tibar dari sunnah Rasulallah, maka sunnah itu dapat dibagi atas tiga bagian.
a.                   Sunnah Mutawatir
Ialah apa yang dirawikan dari Rasulallah itu, semua orang sepakat mengatakan, hadis ini tidak bohong. Karena orang yang merawikannya itu banyak. Semuanya itu dapat dipercaya. Diantara yang termasuk dalam bagian ini yaitu sunah amaliah tentang mengerjakan sembahyang, puasa, haji, azan dan lain-lain.
b.                  Sunnah Masyhur
Ialah orang yang merawikan hadis dari Rasulallah itu hanya seorang, atau dua orang, atau tiga orang, atau lebih. Tapi belum sampai ke batas mutawatir. Sudah itu yang merawikan dari jumlah ini seperti itu pula, sehingga sampai kepada kita dengan sanad. Pada tingkat pertama mereka mendengar langsung dari Rasul, atau menyaksikan perbuatan Rasul itu. Seorang, atau dua orang, atau tiga orang, atau lebih, tapi belum sampai kepada jumlah mutawatir.
c.                   Sunnah Uhad
Yang merawikannya itu hanya seorang, atau dua orang, atau jama’, tidak sampai ke batas mutawatir. Yang merawikan berikutnya dan berikutnya itu sama saja. Sampai kepada kita demikianlah keadaannya. Setiap tingkat sanadnya itu hanya seorang.[30]             
Qath’i dan Dzan                                                                                                         
Dari segi datangnya, sunnah mutawatir itu adalah pasti datangnya dari Rasul SAW. Karena bertubi-tubinya (tawatur) pemindahan itu mendatangkan ketetapan dan kepastian akan sahnya berita. Sedangkan sunnah masyhuroh adalah pasti datangnya dari seorang sahabat atau para sahabat yang telah menerimanya dari Rasul SAW. Karena ia datangnya dari sahabat, sedangkan sahabat adalah hujjah terpercaya mengenai penukilan hadis dari Rasulallah SAW.                                                                        
Sunnah Aahad adalah dugaan (zhonniyah) dari Rasul SAW, karena sanadnya tidak mendatangkan kepastian.                                                                                                
Adapun dari segi pengertian (dalalah) setiap sunnah dari tiga bagian tersebut terkadang pasti dalalahnya, apabila nashnya tidak ada kemungkinan untuk ditakwilkan, dan terkadang dugaan dalalahnya, apabila nashnya mungkin di takwilkan.                                     
Dengan mengadakan perbandingan diantara nash-nash Al-Qur’an dan nash-nash Al-Sunnah dari qoth’inya dan zhonninya, maka menghasilkan kesimpulan bahwa nash-nash Al-Qur’an itu semuanya adalah pasti datangnya, di antaranya ada yang pasti dalalahnya dan ada yang zhonni dalalahnya. Sedangkan Al-Sunnah, di antaranya ada yang pasti datangnya dan ada yang zhonni datangnya. Masing-masing terkadang qoth’i dalalahnya dan terkadang zhonni dalalahnya.
Di Antara Ucapan dan Perbuatan Rasul SAW Yang Bukan Merupakan Hukum Syari’at Islam.                                                                                                                   
Diantara ucapan dan perbuatan Rasul SAW adalah merupakan hujjah ummat islam yang harus diikuti, apabila hal itu keluar daripadanya dengan kualitas beliau itu sebagai utusan Allah SWT, dan dimaksudkan dengan itu membentuk hukum syari’at islam secara umum.                                                                                                            
Hal itu karena Rasulallah SAW juga adalah manusia seperti manusia-manusia lainnya yang dipilih oleh Allah sebagai utusan kepada mereka seperti telah difirmankan oleh Allah: 
Artinya:”  Katakanlah,  Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku”. (QS. Al-Kahfi: 110).[31]
1.                  Hal-hal yang keluar daripada Rasulallah SAW yang bersifat naluri kemanusiaan, seperti berdiri, duduk, berjalan, tidur, makan, minum, semua itu bukan merupakan hukum syari’at (islam). Karena hal ini bukanlah bersumber kepada tugas (risalah) nya, melainkan bersumber kepada naluri kemanusiaan.
2.                  Hal-hal yang keluar daripada Rasulallah SAW yang bersifat pengetahuan kemanusiaan, kepandaian, dan beberapa eksperimen duniawi, seperti hal sewa-menyewa, pertanian, mengatur pasukan, strategi peperangan dan sebagainya. Semua ini juga bukan hukum syari’at islam.
3.                  Hal-hal yang keluar dari Rasulallah dan dalil syar’i yang menunjukkan atas kekhususan hal ini bagi Nabi, dan bahwasannya ia bukan tuntunan, maka ia bukanlah hukum syari’at islam secara umum, seperti diperbolehkannya beliau menikah lebih dari empat istri. Karena firman Allah yang berbunyi:

Artinya:”Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat”. (QS. An-Nisa: 3).
Adalah bahwa batas maksimal bilangan istri adalah empat. Dan seperti keputusannya dalam menetapkan dakwaan dengan penyaksian khuzaimah seorang diri, karena nash-nash telah jelas bahwasanya saksi nyata (bayyinah) itu adalah dua saksi. Dipelihara pula bahwa keputusan Rasul SAW dalam perselisihannya itu mencakup 2 hal, yakni:Menetapkan kejadian-kejadian danSebagai keputusannya terhadap kepastian atas ketetapan kejadian itu.                                                                                          Menetapkan kejadian adalah hal yang dikuasai olehnya (kemampuan baginya), bukan membentuk hukum syari’at (islam), sedangkan keputusannya setelah memastikan ketetapan kejadian adalah berarti pembentukan hukum syari’at islam.[32]
penutup                                                                                                                     
Dari dari pembahasan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.    Bahwa Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah saw melalui malaikat Jibril dan sebagai sumber hukum islam yang pertama dan utama dalam menentukan hukum fiqih.
2.    Assunah merupakan perbuatan maupun perkataan Rasulullah saw dan sebagai sumber hukum islam yang kedua, setelah Al-Qur’an.
3.   Bahwa sumber-sumber hukum islam adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan ibadah, muamalah,dan lain sebagainya.
4.    Sumber-sumber hukum islam yang disepakati para ulama yaitu berupa Al-Qur’an dan Assunah.











DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993)
Anwar Harjono, Hukum islam keluasan dan keadilannya, (Jakarta: Bulan Bintang,1968)
Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Surabaya: Bina Ilmu,1990)
Chaerul Uman.dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999)
Hanafie, Ushul Fiqh,( Jakarta: widjaya,1989)
Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum Islam dan Tata Hukum di Indonesia, (Jakarata: Rajawali Pers,1998)
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2007)
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam,(Jakarta: Sinar Grafika, 1995).



[1] Chaerul Uman dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung, Pustaka Setia, 2000), halm. 31
[2] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007), halm.78-79
[3] Hukum syara’ adalah seperangkat peraturan yang berupa ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia.
[4] Chaerul Uman, Loc. Cit.
[5] Ruhul Amin: julukan untuk malaikat Jibril.
[6] Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990), halm. 50-51
[7] Menurut Jumhur Ulama berdasarkan hadist yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Aisyah.
[8] Ibid., halm. 152
[9] Anwar Harjono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), halm. 96
[10] Riwayat dan ceritera yaitu sejarah orang-orang yang mau tunduk kepada agama Allah dan mau menjalankan hukum-hukumnya. Maksudnya ialah untuk menjadi tauladan bagi orang-orang yang hendak mencari kebahagiaan.
[11] Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya,1989),halm.103
[12] Op.cit., halm. 53-54
[13]  Ibid., halm. 67-68
[14] Berhujjah: istilah yang sering digunakan dalam al-qur’an yang bermaknatanda, bukti dalil, alasan atau argumentasi (memberikan alasan-alasan).
[15] Chaerul Uman, Op.Cit., halm. 50-52
[16] Juz’i artinya tidak satu persatunya soal dibicarakan.
[17] Kulli artinya tidak membicarakan soal-soal yang kecil-kecil/ bersifat umum.
[18] Ibid., halm. 53-55
[19] Asywadie Syukur, Op.Cit.,  halm. 52
[20] Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum Islam dan Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta, Rajawali Pers, 1998), halm. 72-75
[21] Chaerul Uman dkk, Op. Cit., halm. 33-35
[22] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), halm. 20
[23] Mohammad Daud Ali, Op. Cit., halm. 97
[24] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,1999),halm.34
[25] Arti taqrir Nabi ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau. Contohnya diamnya Nabi terhadap perempuan yang keluar rumah, jalan pergi ke masjid, dan mendengarkan ceramah yang memang diundang untuk kepentingan suatu pertemuan.
[26] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1996), halm. 47-49
[27] Ibid., halm. 50-52
[28] Ibid., halm. 53
[29] Ibid., halm. 54-55
[30] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta, Rineka Cipta, 1993), halm. 44-45
[31] Abdul Wahhab Khallaf, Op.Cit., halm. 59-60
[32] Ibid., halm. 61-62

0 Response to "Sumber dan Dalil-Dalil Hukum Islam (Al-Quran dan sunnah) "

Post a Comment