BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.
Banyak di antara kita yang mengatakan’’ aku cinta kepada Allah’’.
Tetapi hal itu hanya lah perkataan lisan tanpa di barengi dengan keyakinan
dalam hati dan di terapkan dalam bentuk tindakan. Mereka masih tetap saja
melanggar aturan-aturan yang di tetapkan oleh sang khaliq. Bahkan cinta terhadap Allah bisa di kalahkan dengan
cinta terhadap manusia itu sendiri. Padahal cinta terhadap Allah merupakan
tujuan yang paling utama dan kekal di dalamnya sedangkan cinta terhadap sesama
manusia hanya di dunia belaka.
Manusia sebagai hamba sudah seharusnya mengakui bahwa dirinya
adalah ciptaan Allah dan di wajibkan atas dirinya untuk menyembah Allah. Satu-satunya
jalan adalah mencintai nya dengan sepenuh hati dan berusaha untuk taat kepadanya.
Oleh karena itu, pada pembahasan ini kami akan menyajikan materi tentang hubb/cinta
terhadap Allah S.W.T yang tak kalah menarik untuk di bahas. Semoga ini bisa menjadi
pembelajaran kita semua. Aamiin.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksut dengan hubb/cinta
serta apa penyebab adanya cinta dan
bagaimana tanda-tandanya ?.
2. Bagaimana tingkatan dan keutamaan orang
yang cinta terhadap Allah dan bagaimana cara melakukannya?.
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui dan mengerti apa yang di maksut dengan cinta, penyebab serta
tanda-tandanya.
2.
Untuk memperdalam pemahaman Mahasiswa agar mempunyai wawasan yang luas tentang
tingkatan, cara dan keutamaan dalam mencintai Allah S.W.T.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mahabbah
Kata Mahabbah
berasal dari kata ahabba, yuhibbu, muhabatan, yang secara harfiah
berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam.
Dalam Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan muhabbah adalah
lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci . Al-Muhabbah dapat
pula berarti al-wadud yakni yang sangat kasih atau penyayang. Selain itu al-Muhabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada
sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang
bersifat material maupun spiritual, seperti cinta sesorang yang sedang kasmaran
pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada
sahabatnya, atau seorang pekerja kepada pekerjaannya.
Menurut al-Qusyairi al-Muhabbah adalah merupakann hal (keadaan) jiwa yang
mulia yang bentuknya, adalah disaksikannya (kemuttlakannya) Allah SWT, oleh
hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang
dikasihinya-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.
Selanjutnya
Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta dan cinta yang
dimaksud adalah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan.
Pengertian yang diberikan kepada muhabbah anatara lain sebagia berikut:
1) Memeluk
kepatuhan kepada Tuhan dan membenci melawan kepadaNya.
2) Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3) Mengosongkan hati dan segalan-galanya kecuali
dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.[1]
Dilihat dari
segi tingkatan, mahabah sebagai dikemukan al-Sarraj, sebagai dikutip Harun
Nasution, ada tiga macam, yaitu mahabah orang biasa, mahabah orang shidiq,
mahabbah orang yang arif. Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu
mengingat Allah dengan zikir, suka menyebut nama Allah dan memperoleh
kesenangan dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.
Mahabah orang
shidiq adalssah cinta orang
yang kenal pada Tuhan, pada kebesaranNya, pada kekuasaanNya, pada ilmu-ilmuNya
dan lain-lain.
Dan mahabbah
orang yang arif adalah cinta orang yang tahu betul pada Tuhan, yang dilihat dan
dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang
dicintai masuk kedalam diri yang mencintai. Dengan uraian tersebut kita dapat
memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai
Tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang dicintai Tuhan sepenuh hati
masuk kedalam diri yang dicintai. Tujuannya dalah untuk memperoleh kesenangan
batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-katak, tetapi hanya dapat dirasakan
oleh jiwa.
Sementara itu
adapula pendapat yang mengatakan bahwa al-Muhabbah adalah satu istilah
yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam kedudukan maupun
dalam pengertiannya. Kalau ma’rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada
Tuhan melalui mata hati (al-qalb), maka mahabbah adalah perasaan
kedekatan dengan Tuhan melalui cinta (Roh).[2]
Ada juga yang
mengatakan bahwa cinta adalah kecendorongan hati, yakni kecendorongan hati
kepada Alah. Dan segala sesuatu yang menyangkut Allah tanpa upaya apapun. Adapun
al- Kattani mengatakan cinta adalae k,h keadaan lebih
menyukai apa yang seseorang pencinta cintai bagi seseorang yang ia cintai.[3]
Rabi’ah adalah
orang pertama yang memperkenalkan konsep al hub al-ilahi kedalam tasawuf
islam. Semenjak al-hubb al-ilahi menyelinap masuk dalam lubuk hati
Rabi’ah, ia senantiasa bergetar hatinya di antara dua cinta yaitu hub
al-hawa dan hub allazi anta ahl lahu.
Hubb al-hawa adalah rasa
cinta yang di bangkitkan oleh nikmat-nikmat Allah atas hambanya. Cinta ini tidak murni
karena zat yang di cintai. Hub allazi anta ahl lahu adalah rasa cinta
yang tidak ada pendorongnya selain zat yang di cintai itu sendiri. Cinta ini
murni semata-mata bagi zat yang di cintai, sehingga terbuka hijab antara yang
mencintai dengan yang di cintai. Sedangkan al-hubb al-ilahi adalah
pengalaman rohani rabi’ah sebagai karunia tuhan, karenanya al-hubb al-ilahi
adalah hal bukan maqam.[4]
Cinta merupakan totalitas perhatian dan tindakan yang hanya
memenuhi rangkaian,’’ dari dalam dan menuju Allah semata-mata’’. Penyerahan
seluruh hasyrat, gerak kehidupan, pengorbanan, bahkan tebusan kematian
sekalipun hanya untuk Allah yang maha berlimpah cintanya. Manusia tercipta
karena cinta, hidup di dalam cinta, dan mati dengan cinta. Seluruh pikiran dan
berbagai alasan hidup kehilangan kekuatannya dalam cinta. Dan, manusia tidak
lain harus menampilkan dirinya sebagai pembawa pelita cinta tersebut. Cinta membutuhkan pembuktian. Bukan hanya
sekedar merenung-renung, kemudian menyingkirkan diri dari segala tantangan
zaman cinta akan di rasakan nikmatnya ketika dirinya menghadapi debu-debu dunia
yang mengepul dan menantang dirinya.[5]
B.
Sebab-Sebab Cinta.
Adapun penyebab timbulnya cinta menurut al-haddad ialah adanya
sesuatu yang di miliki oleh orang yang di cintai atau di perolehnya sesuatu
pemberian darinya. Dengan demikian , rasa cinta itu timbul di sebabkan oleh dua
factor, yaitu: pertama, ada sesuatu yang di kagumi berupa kesempurnaan
yang di miliki oleh yang di cintai. Kedua, ada pengharapan yang akan di
perolehnya, yaitu suatu pemberian dari yang di cintai.[6]
Sedangkan para ulama menyebutkan bahwa sebab-sebab timbulnya cinta sangat
banyak. Yang paling penting ada sepuluh, yaitu:
1. Membaca
al-Qur’an dengan memahami dan memikirkan maksutnya.
2. Mendekatkan
diri kepada Allah dengan cara menjalankan yang sunnah. Semua itu akan
mengantarkan seseorang kepada derajat di cintai, setelah mencintai.
3. Selalu
berdzikir kepada Allah dalam setiap keadaan, baik dengan lisan, hati maupun
amal perbuatan. Seseorang akan mendapatkan cinta sesuai dengan kadar dzikirnya.
4. Melebihkan
semua yang di cintainya atas semua yang engkau cintai ketika engkau di kuasai
hawa nafsu, walaupun itu sulit.
5. Hati
yang selalu ingat nama-namnya dan sifat-sifatnya, menyaksikan keagungannya,
makrifat kepadanya. Barang siapa bermakrifat kepada Allah dengan nama-namanya,
sifat-sifatnya, dan perbuatan-perbuatannya, maka tidak di ragukan bahwa dia
akan mencintainya.
6. Mengakui
semua kebaikan dan nikmat-nikmatnya, baik yang zahir maupun batin. Semua ini
akan menyebabkan cinta kepadanya.
7. Luluhnya
hati secara keseluruhan di hadapan Allah, karena merasa hina dan rendah diri.
8. Berkhalwat
bersamanya untuk bermunajat kepadanya, khususnya pada waktu sahur (menjelang
subuh). Lalu membaca kalamnya (al-qur’an) dan berdiri dengan sepenuh hati dan
adab di hadapannya. Lalu semua ini di akhiri dengan istigfar dan tobat.
9. Bergaul
dengan orang-orang yang benar-benar mencintai Allah dan mengambil buah
perkataan mereka yang baik-baik,.
10.
Menjauhi apa-apa yang dapat melepaskan ikatan
antara hati dan Allah.[7]
C. Tanda-Tanda Cinta.
Banyak orang
mengaku telah mencintai Allah dan rasulnya. Alangkah mudahnya pengakuan
tersebut. Tidak seharusnya seseorang membohongi dirinya sendiri. Akan tetapi,
dia harus mengetahui bahwa cinta itu mempunyai tanda-tanda yang menunjukkannya
dan buah yang tampak dalam hati, lisan dan perbuatan. Jadi, jika ia tidak ingin
menipu dirinya sendiri, maka dia harus meletakkan dirinya pada timbangan cinta
dan hendaklah dia mengujinya dengan tanda-tanda cinta.
Tanda-tanda cinta
yang di miliki oleh seseorang banyak sekali. Diantaranya:
1. Senang
bertemu kekasihnya dengan cara kasyt (terbukannya tabir) dan menyaksikannya di
syurga. Tidak bisa di bayangkan bahwa hati mencintai sang kekasih, kecuali jika
dia senang melihat dan bertemu dengannya. Jika dia mengetahui bahwa bahwa dia
tidak akan bisa mencapainya kecuali dengan cara pergi dari dunia dan
meninggalkan dengan kematian, maka dia harus mencintai kematian dan tidak boleh lari darinya. Sebab, kematian
adalah kunci untuk bertemu dengannya. Rasulullah saw bersabda:
‘’Barang siapa senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang
bertemu dengannya.’’ (H.R.
Bukhori dan Muslim).
2. Mengutamakan
apa-apa yang di cintai Allah atas apa-apa yang di cintainya, baik dalam
lahirnya maupun dalam batinya. Dengan demikian, dia selalu taat dan
meninggalkan kemalasan dan godaan hawa nafsu. Sebab, orang yang mencintai
Allah, tidak akan berbuat maksiat kepadanya.
3. Memperbanyak
zikir kepada Allah. Lisan dan hatinya tidak pernah berhenti berzikir. Sebab,
barang siapa mencintai sesuatu, maka dia akan sering mengingatnya.[8]
4. Berkhalwat
dengan Allah, bermunajat kepadanya, dan membaca kitabnya. Dia selalu melaakukan
shalat tahajut dan meraih keuntungan dari tenangnya malam dan sucinya waktu. Serendah-rendah
derajat mahabbah adalah menikmati khalwat bersama sang kekasih dan bermunajat
kepadanya.
5. Tidak
menyesali apa-apa yang hilang darinya, selain Allah dan sangat menyesal jika
dia melewatkan waktunya tanpa berzikir dan taat kepada Allah. Ketika dia lalai,
dia selalu kembali kepadanya dengan memohon kerelaannya dan bertobat kepadanya.
6.
Menikmati
ketaatan, tidak menganggapnya berat dan tidak merasakan keberatan.
7. Bersikap
lembut dan sayang kepada hamba-hamba
Allah, dan bersifat keras kepada musuh-musuhnya.
8. Merasa
takut dan berharap dalam mencintai Allah, di bawah keagungan dan kemuliaannya.
9. Menyembunyikan
perasaan cinta, menghindari pengakuan, dan tidak memperlihatkan cinta tersebut,
sebagai wujut pengagungan, pemuliaan, penghormatan terhadap sang kekasih. Akan
tetapi, sebagian orang-orang yang cinta kepadanya tidak bisa menyembunyikan
cinta tersebut.
10.Senang
dan ridha kepada Allah. Adapun tanda-tanda senang kepada Allah adalah tidak
bermanja-manja dengan makhluk, dan menikmati zikir kepada Allah.[9]
D. Tingkatan-Tingkatan Cinta.
Para ulama menyebutkan bahwa cinta memiliki sepuluh tingkatan:
1. Al-‘Ilaqah (gantungan), dinamakan demikian karena tergantungnya hati pada
sang kekasih.
2. Al-Iradah (keinginan), yaitu condongnya hati kepada sang kekasih dan
usahanya untuk mencarinya.
3. Ash-Shababah (ketercurahan), yaitu tercurahnya hati pada sang kekasih, sehingga
pemiliknya tidak dapat menguasainya, sebagaiman tercurahnya air di puncak
gunung.
4. Al-Gharam (cinta yang menyala-nyala), yaitu cinta yang selalu ada dalam hati
dan tidak dapat meninggalkannya. Dia selalu menetap, sebagaiman seseorang
kekasih yang selalu menetap pada kekasihnya.
5. Al-Widad (kelembutan), yaitu kesucian, ketulusan, dan isi dari cinta.
6. Asy-Syaghaf (cinta mendalam), yaitu sampainya cinta kedalam lubuk hati, ‘’
Asy-Syaghaf adalah, orang yang mencintai tidak melihat pada kekasaran, akan
tetapi melihatnya sebagai keadilan dan kesetiaan.
7. Al-‘Isyq (kerinduan), yaitu cinta yang berlebihan pada pemiliknya di
khawatirkan karenanya.
8. At-Tayammum yaitu memperbudak dan merendahkan diri. Dikatakan, tayammahu
al-hubb’’, artinya cinta telah merendahkan dan memperbudaknya.
9. At-Ta’abdud
(penghambaan), yaitu tingkatan di atas at-tayammum. Sebab, seorang hamba tidak
lagi mempunyai apa-apa pada dirinya.
10 Al-Khullah. Ini hanya di miliki oleh dua khalil(kekasih), yaitu Ibrahim a.s.
dan Muhammad s.a.w. Al-khullah artinya cinta yang memenuhi jiwa dan hati orang
yang mencintai, sehingga tidak ada lagi tempat di hatinya selain untuk yang di
cintai.
Jika cinta telah menghiasi hati, maka dia akan mengeluarkan semua
kepahitan dari kehidupan dunia yang fana ini, pemiliknya akan hidup dengan baik
dan nikmat, dan kecemasan tidak akan memiliki jalan lagi untuk memasuki hidupnya.[10]
E. Keutamaan Cinta.
Keutamaan cinta banyak sekali diantaranya:
1. Allah
akan senantiasa mencintai kepada orang-orang yang cinta kepadanya dan akan di
ampuni dosa-dosanya. Sebagaimana surah Ali ‘imran ayat 31: ‘’ Katakanlah,
Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah
akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian’’.
2. Cinta
kepada Allah akan memperoleh maqam yang tinggi di hadapan Allah.
3. Mendapatkan
nikmat dan karunia dari Allah serta mereka akan bersama orang yang mereka
cintai.
4. Manisnya
cinta akan melupakan mereka akan pahitnya cobaan dan perihnya malapetaka yang
menimpa mereka serta mereka akan memperoleh ridha dan cinta dari Allah s.w.t
dan lain sebagainya. Amal tanpa di barengi dengan cinta sama seperti jasad yang
tidak bernyawa.[11]
f. Alat Untuk Mencapai Mahabbah
Dapatkah
manusia mencapai mahabbah seperti dijelaskan di atas? Para ahli tasawuf
menjawabnya dengan menggunakan pendekatan psikologi, yaitu pendekatan yang
melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun Nasution,
dalam bukunya Falsafah dan Mistisis Islam mengatakan, bahwa alat untuk
memperoleh Ma’rifah oleh sufi disebut sir. Dengan mengutip
pendapat al-Qusyairi, Harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada
tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, al-qalb/hati
sanubari, sebagai alat untuk mengetahi sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh
sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga, sir yaitu alat untuk melihat
Tuhan. Sir lebih halus dari pada roh, dan roh lebih halus dari pada qalb.
Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh bertempat di qalb, dan sir timbul
dan dapat iluminasi dari Allah, kalau qalb dan roh telah suci seci-sucinya dan
sekosong-kosongnya, tidak berisi apapun.
Dengan keterang
tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah roh, yaitu
roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari
kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya diisi oleh cinta kepada Tuhan.
Roh yang
digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugrahkan Tuhan kepada manusia
sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat bulan. Dengan demikian
alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia tidak tahu
sebenarnya hakikat roh itu. Yang mengetahui hanyalah Tuhan. Allah berfirman:
Artinya: “dan
mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".” (QS.
Al-Isra’: 85)
Selanjutnya di
dalam hadis pun diinformasikan bahwa manusia itu diberikan roh olrh Tuhan, pada
saat manusia berusia empat bulan di dalam kandungan. Hadis tersebut berbunyi:
“sesungguhnya
manusia dilakukan penciptaannya dalam kandungan ibunya, selama empat puluh hari
dalam bentuk nutfah (segumpah darah), kemudian menjadi alaqah (segumpul daging
yang menempel) pada waktu yang juga 40 hari, kemudian dijadikan mudghah
(segumpal daging yang telah berbentuk) pada yang juga empat puluh hari, kemudian
Allah mengutus malaikat untuk menghembuskan roh kepadanya. (HR.
Bukhari-Muslim)
Dari kedua
dalil diatas selain menginformasikan bahwa manusia dianugrahi roh oleh Tuhan,
juga menunjukan bahwa roh itu pada dasarnya memiliki watak tunduk dan patuh
pada Tuhan. Roh, yang wataknya demikian itulah yang digunakan para sufi untuk
mencintai Tuhan.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Al-Muhabbah adalah
kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk
memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual. rasa cinta itu timbul di sebabkan oleh dua factor, yaitu: pertama,
ada sesuatu yang di kagumi berupa kesempurnaan yang di miliki oleh yang di
cintai. Kedua, ada pengharapan yang akan di perolehnya, yaitu suatu
pemberian dari yang di cintai. Tanda-tanda cinta yang di miliki oleh seseorang
banyak sekali. Diantaranya: Senang bertemu kekasihnya, mengutamakan apa-apa
yang di cintai Allah atas apa-apa yang di cintainya, memperbanyak dzikir, tidak
menyesali apa yang hilang darinya, tidak merasakan keberatan dalam dirinya,
bersikap lembut dan sayang, merasa takut dan berharap dalam mencintai Allah
serta senang dan ridha kepada Allah.
Para
ulama menyebutkan bahwa cinta memiliki sepuluh tingkatan yaitu Al-‘Ilaqah,
Al-Iradah, Ash-Shababah, Al-Gharam, Al-Widad, Asy-Syaghaf, Al-‘Isyq, At-Tayammum,
At-Ta’abdud, Al-Khullah. Sedangkan Keutamaan cinta banyak sekali
diantaranya: Allah akan senantiasa mencintai kepada orang-orang yang cinta
kepadanya dan akan di ampuni dosa-dosanya, Cinta kepada Allah akan memperoleh maqam
yang tinggi di hadapan Allah, Mendapatkan nikmat dan karunia dari Allah serta
mereka akan bersama orang yang mereka cintai, Manisnya cinta akan melupakan
mereka akan pahitnya cobaan. Cara manusia mencapai mahabbah yaitu dengan menggunakan pendekatan psikologi, yaitu
pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, “Akhlak Tasawuf”, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2012.
M.A. Achlami,
Tasawuf ‘Abdullah Bin ‘Alwi Al-Haddad, Lampung: Fakultas Dakwah Iain Raden
Intan, 2010.
Mulyadhi Karta
Negara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Erlangga, 2006.
Ris’an Rusli, Tasawuf
Dan Tarekat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013.
Syaikh ‘Abdul
Qodir Isa, Hakikat Tasawuf, Jakarta: Qisthi Press, 2011.
[1] Abuddin Nata, “Akhlak Tasawuf”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2012 ), hlm. 209.
[2] Ibid., 211.
[3] Mulyadhi Karta
Negara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 189.
[4] Ris’an Rusli, Tasawuf
Dan Tarekat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 113.
[5] Toto Tasmara,
Menuju Muslim Kaffah, (Jakarta: Gema Insani, 2000), hlm. 154.
[6] M.A. Achlami, Tasawuf ‘Abdullah Bin ‘Alwi
Al-Haddad, (Lampung: Fakultas Dakwah Iain Raden Intan, 2010), Hlm. 89.
[7] Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Hakikat Tasawuf,
( Jakarta: Qisthi Press, 2011), hlm. 283.
[8] Ibid.,
hlm. 285.
[9] Ibid., hlm.
286.
[10] Ibid.,
hlm. 288.
[11] Ibid.,
hlm. 282.
[12] Abuddin Nata, “Akhlak Tasawuf”, ( Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2012). Hlm. 214.
0 Response to "makalah tentang al-Muhabbah/cinta"
Post a Comment