Sejarah
Perkembangan dan Aliran- Aliran Ushul Fiqh
Oleh:
M. Ichsan Nawawi Sahal
Nurlaili Nafiah
Listiani
IAIN
Raden Intan Lampung
Abstrak
Sebagai mana
ilmu- ilmu keagamaan lain dalam islam. Ilmu ushul fiqh fiqh tumbuh dan
berkembang dengan tetap berpijak pada Al- Qur’an dan Sunnah. Dengan kata lain,
Ushul Fiqh tidak tumbuh dengan sendirinya, tetapi benih- benihnya sudah ada
sejak zaman Rasulullah dan sahabat. Maka mengetahui sejarah perkembangan usul fiqh dan mengetahui aliran-
aliran dalam ushul fiqh adalah hal penting yang harus diketahui dan pelajari
sebelum mengenal ushul fiqh secara lebih jauh.
Masalah utama yang menjadi bagian
ushul fiqh ialah seperti ijtihad, qiyas, ijma’ dan lain sebagainya sudah
ada pada zaman Rasulullah dan sahabat. Maka karena masalah inilah timbul
beberapa aliran dalam ushul fiqh. Aliran pertama disebut dengan aliran Syafi’iah dan jumhur Mutakalimin (ahli kalam). Sedangkan,Aliran kedua dalam ilmu
ushul fiqh adalah aliran fuqoha,yang dianut ulama- ulama mazhab Hanafi.
Kata Kunci: Perkembangan, dan Aliran- Aliran.
A.Kata
Pengantar
Sebagai satu
kegiatan intelektual yang tidak boleh lepas dari tuntunan wahyu, ijtihad[1]
memerlukan perangkat kaidah atau metode, metode inilah yang kemudian di kenal
dengan Ushul Fiqh. Meskipun Ushul Fiqh
sebagai satu disiplin ilmu baru tersusun secara sistematis pada abad kedua,
namun dalam peraktiknya ia telah tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tumbuh
dan berkembangnya hukum fiqh sebagai produk ijtihad. Para Fuqoha kalangan
sahabat, seperti Ibnu Mashud, Ali Bin Abi Thallib, dan Umar Bin Khatthab
terkenal di antara orang- orang banyak melakukan ijtihad, yang dapat di
pastikan dalam ber ijtihad bukanya tanpa kaidah yang mengikat. Pada masa
tabi’in praktik ijtihad menjadi lebih luas dengan bnyaknya para tabi’in yang
mengkhususkan diri untuk bertaqwa, sejalan dengan banyaknya permasalahan yang
harus di jawab. Mereka adalah murid- murid para sahabat dalam ilmu fiqh. Di
samping menyebarkan fatwa- fatwa sahabat panutanya, sesekali mereka yang di
kirim ke berbagai daerah itu juga mengadakan terobosan baru sesuai dengan
tuntunan masyarakat di tempat masing- masing. Penduduk Khufah yang sudah banyak
mengenal kebudayaan dan peradaban itu, membuat para ahli fiqh nya sering di
hadapkan pada berbagai kasus yang beraneka ragam.
Untuk
menjawab tantangan ini, mereka memperluas dan meningkatkan kegiatan ijtihad.
Itu bukan berarti mereka mengabaikan hadist. Hadist, bahkan Hadist Ahad[2]
tetap mereka pegang sebagai sumber hukum meskipun dengan seleksi yang
ekstra ketat.Akibatnya jumlah hadist yang mereka anggap valid menjadi lebih
terbatas. Dengan mengecilnya jumlah hadist yang mereka pakai, peranan ijtihad
menjadi lebih besar. Beda dengan itu kondisi social di Hijaz yang belum banyak
berhubungan dengan budaya luar.
Untuk
menjawab permasalahan yang muncul. Hampir di rasa cukup dengan merujuk kepada
teks- teks Al- Qur’an, sunnah dan ijma[3]
sahabat. Dengan demikian kebutuhan kepada ijtihad relative lebih kecil di
banding di Iraq. Dalam tulisan ini kita tidak bermaksud berbicara panjang lebar
tentang bentuk masing- masing aliran tersebut. Yang hendak kita kemukakkan
adalah, bahwa Ushul Fiqh masing- masing aliran semakin jelas, sejalan dengan
perkembangan ijtihad, baik dalam bentuk memahami sebagian teks- teks ayat dan
sunnah yang menurut tabiatnya tidak cepat dapat
di tangkap pengertianya, maupun dalam memecahkan masalah yang hukumya
tidak terdapat dalam teks- teks dua sumber utama tersebut.[4]
B.Sejarah Ilmu Fiqh
Pertumbuhan
ushul fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum islam sejak zaman Rasulullah
SAW sampai pada saat tersusunya Ushul Fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada
abad ke-2 Hijriah. Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum islam hanya dua, yaitu
Al- Qur’an dan Sunnah. Apabila muncul suatu kasus, Raulullah SAW menunggu
turunya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun,
maka beliau menitipkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, maka beliau
menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya yang di kenal dengan hadist
atau sunnah.
Artinya:
“ Ilmu ushul fiqh lahir sejak abad ke- 2 H. Ilmu
tersebut, pada abad pertama Hijriah memang tidak diperlukan karena Rasulullah
SAW. Dapat mengeluarkan fatwa dan memutuskan
suatu hukum berdasarkan ajaran Al- Qur’an dan As- Sunah yang di ilhamkan
kepada beliau”.
Dalam
menetapkan hukum dari berbagai kasus di zaman Rasulullah SAW yang tidak ada
ketentunaya dalam Al- Qur’an, para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa ada
isyarat bahwa Rasulullah SAW. Menetapkan malalui ijtihad. Hal ini dapat di
ketahui melalui sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
“ Sesungguhnya
aku adalah manusia (biasa), apabila aku perintahkan kepadamu tentang sesuatu
yang menyangkut agamamu, maka ambilah.Dan apabila aku perintahkan kepadamu
sesuatu yang berasal dari pendapatku, maka sesungguhnya aku adalah manusia
(biasa).” (HR. Muslim dan Rafi’ ibnu Khudajj).
Hasil ijtihad
Rasulullah SAW. Ini secara otomatis menjadi sunah sebagai sumber hukum dan
dalil bagi umat islam.
Dalam
beberapa kasus, Rasulullah SAW. Juga menggunakan Qiyas[5] ketika
menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya, beliau menggunakan qiyas ketika
menjawab pertanyaan Umar ibn- Khattab tentang batal tidak puasanya seorang yang
mencium istrinya Rasulullah SAW. Ketika itu bersabda:
Artinya:
“Apabila kamu berkumur- kumur dalam keadaan
puasa, apakah puasamu batal?” Umar menjawab, “ Tidak apa- apa ( tidak batal).
Rasulullah SAW kemudian bersabda, “ Maka teruskanlah puasamu”. ( HR. Al-
Bukhari, Muslim, dan abu Daud).
Rasulullah SAW.
Dalam hadist ini, menurut para ulama ushul fiqh, mengqiyaskan hukum mencium istri
dalam keadaan berpuasa dengan hukum berkumur- kumur bagi orang yang berpuasa.
Jika berkumur- kumur tidak batal, maka mencium istripun tidak membatalkan
puasa.
1.
Cara- cara Rasulullah SAW dalam
menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu fiqh. Karena, para
ulama ushul fiqh menyatakan bahwa keberadan ushul fiqh bersamaan dengan
hadirnya fiqh, yaitu sejak zaman Rasulullah SAW. Bibit ini semakin jelas di
zaman para sahabat, karena wahyu dan sunah Rasul tidak ada lagi, sementara
persoalan yang mereka hadapi semakin berkembang.
Para
tokoh mujtahid yang termasyhur pada zaman sahabat, diantaranya Umar Ibn Khattab,
Ali ibn Abi Thalib, dan Abdullah ibn Mas’ud. Dalam berijtihad, Umar ibn Khattab
seringkali mempertimbangkan kemaslahatan umat, dibandingkan sekedar menerapkan
nash secara dzahir, sementar tujuan hukum tidak tercapai. Misalnya, demi
kemaslahatan rakyat yang ditaklukan pasukan islam di suatu daerah, Umar ibn
Khattab menetapkan bahwa tanah di daerah tersebut tidak di ambil pasukan islam,
melainkan di biarkan digarap penduduk setempat, dengan syarat setiap panen
harus diserahkan beberapa persen kepada pemerintahan islam. Sikap ini di ambil
Umar ibn Khattab didasarkan atas pemikiran bahwa apabila tanah pertanian
tersebut di ambil pemerintah islam, maka rakyat didaerah tersebut tidak
memiliki mata pencaharian, yang akibatnya bisa membebankan beban Negara. Para
ulama ushul fiqh berpendapat bahwa landasan pemikiran Umar ibn Khattab dalam
kasus ini adalah demi kemaslahatan (maslahah).
Ali
ibn Abi Thalib juga melakukan ijtihat dengan menggunakan qiyas yaitu mengqiyaskan hukumya orang yang meminum khamar dengan
hukuman orang yang melakukan qadzaf
(menuduh orang lain berbuat zina). Alasan Ali ibn Thalib adalah bahwa seseorang
yang mabuk karena minuman khamar akan mengigau. Apabila ia mengigau, maka ucapanya
tidak bisa dikontrol, dan akan menuduh orang lain berbuat zina. Hukuman bagi
pelaku qadzaf adalah 80 kali dera.
Oleh sebab itu, hukuman orang yang meminum khamar sama dengan hukumanya orang
yang menuduh orang lain berbuat zina. Perkembangan permasalahan di zaman
sahabat ini memerlukan upaya ijtihad yang semakin luas.
Bertebarnya
para sahabat di berbagai daerah ini mempengaruhi para sahabat dalam menetapkan
hukum. Akibatnya dalam kasus yang sama, hukum di suatu daerah dapat berbeda
dengan di daerah lainya. Perbedaan hukum ini berawal dari perbedaan cara
pandangdalam menetapkan hukum pada kasus tersebut.[6]
Fikiran
(ide) mengikuti sesuatu manhaj tertentu dalam mengistimbatkan hukum, Telah ada
semenjak adanya Fiqh. Lantaran fiqh itu menghendaki adanya manhaj untuk
istimbath,walaupun manhaj itu belum begitu jelas, belum merupakan kaidah.
Demikianlah keadanya di masa sahabat dan tabi’in.
Sesudah
banyak macamnya furu’ dan beraneka pula fatwa serta berkembangnya fiqh dan
lahir tokoh- tokoh fiqh yang terkenal, maka manhaj ini menjadi jelas dan
masing- masing mujtahid nmempunyai manhaj sendiri.
Abu Hanifah mempunyai
manhaj yang berbeda dengan manhaj Malik. Kerap kali tumbuh munadharah-
munadharah antara pengikut- pengikut mazhab- mazhab ini dalam menetapkan sumber-
sumber (dasar- dasar) istinbath.
Di
kala Asy Syafi’I telah begerak sebagai seorang mujtahid, beliau memperhatikan
kaidah- kaidah yang telah di pegang oleh para fuqoha, membanding dengan yang
satu dengan yang lainya dan menyusun dalam bentuk kaidah. Dengan demikian
lahirlah ilmu ushul Fiqh. Itulah Ar
Risalah karya Asy Syafi’i.
Sesudah
itu barulah lahir ulama- ulama yang memberikan perhatian untuk mengembangkan ilmu ini. Imam
Ahmad menulis kitab dalam ilmu ushul fiqh. Penganut- penganut mazhab Hanafi dan
Maliki demikian juga. Dalam pada itu ulama- ulama Hanafiah mempunyai cirri khas
dalam membentuk kaidah- kaidah fiqh. Mereka mengambil kaidah ushuliyah dari
furu’ Fiqhiyah yang di nukilkan dari tokoh- tokoh fiqh mereka, sedang fuqoha’-
fuqoha yang lain menetapkan kaidah yang dapat di sendikan kepada dalil- dalil
kuat tanpa melihat kepada hukum furu’yang telah ada.
Dalam
pada itu semua golongan sependapat dalam menetapkan dalil- dalil pokok bagi
hukum, yaitu: Al- Qur’an , As Sunah dan jumhur mereka menetapkan pula Al Ijma
dan qiyas walaupun mereka menetapkan pula Al- Ijma dan qiyas walaupun mereka
mempunyai jalan- jalan sendiri dalam mentahrizkan hukum.[7]
Ilmu
Ushul Fiqh berkembang dalam pengakuan ilmu fiqh, persis seperti halnya yang
terahir ini berkembang dalam pangkuan ilmu hadist sebagai akibat dari berbagai
tahap yang di lalui ilmu syariah. Yang kami maksud dengan ilmu syariah adalah
ilmu yang berusaha mengetahui hukum- hukum yang di bawa islam dari Allah SWT.
Asal usul ilmu ini di syaratkan oleh kampanye yang di lancarkan oleh sejumlah
besar perawi untuk menjaga dan mengumpulkan berbagai riwayat ( Al- Hadist) yang ada dalam hukum- hukum
syariah. Dengan demikian, dalam tahap pertama, ilmu syariah berada dalam
tataran ilmu hadist pada waktu itu, tugas utama tampaknya terbatas pada
mengumpulkan hadist- hadist dan menjaga teks- teks nya. Hanya saja, mengenai
metode memahami hukum- hukum yang terkandung dalam teks- teks dan hadist-
hadist itu, ia tidaklah begitu penting pada tahap itu, sebab hal itu tidak
lebih hanyalah sekedar metode sederhana yang dengan itu orang- orang memahami
kata- kata orang lain dalam percakapan keseharian mereka.
Berangsur-
angsur, metode mamahami hukum- hukum syariah dari teks- teks tersebut menjadi
makin rumit dan kompleks, hingga pemerolehan berbagai hukum dari sumber- sumber
legalnya menjadi sulit, menuntut pengetahuan yang mendalam dan komperhensif.[8]
Keberdaaan
ushul fiqh tidak dapat dilepaskan dengan sejarah fiqh dan ijtihad. Ushul fiqh
sebagai ilmu pengatuhan pada mulanya tidak dikenal paada zaman awal islam. Sebab Nabi Muhammad SAW. Hanya beliaulah yang
memiliki otoritas terhadap hukum tanpa menutup ijtihad dari para sahaba-
sahabtnya. Hanya saja ijtihad ijtihada sahabat tersebut di nilai oleh Nabi SAW,
apakah dapat berlaku atau tidak. Hal ini di sebabkan bersama Nabi terhadap
wahyu dalam bentuk Al- Qur’an dan sunnah yang terjamin kebenaranya.
Sepeninggalan
Nabi adalah masa sahabat. Pada masa ini ushul fiqh belum terdefinisikan namun
telah di peraktikan.Dengan berhentinya wahyu, berhenti pula hukum yang di jamin
pasti kebenaranya oleh Allah, padahal muncul masalah- masalah baru yang secara
rinci tidak di terapkan oleh wahyu. Karena itulah, para sahabat berusaha
menemukan hukumnnya berdasarkan akal fikiran dengan berlandasakan pada wahyu
terhadap perkara tersebut untuk memperolehhukum yang sesuai yang di kehendaki
oleh Allah.
Ushul
fiqh ini di bentuk dengan metode- metode yang di dasarkan pada pandangan yang telah di lakukan generasai sebelumnya,
yakni generasai sahabat, dalam menentukan hukum. Ulama penghimpun ushul fiqh
pertama kali dalam satu kitab adalah Imam Abu Yusuf, Teman Abu Hanifah. Namun,
kitab tersebut tidak pernah sampai pada generasi seterusnya. Namun Ulama yang
pertama kali mengadakan kodifikasi kaidah- kaidah dan kajian- kajian ilmu ini
dalam suatu kumpulan yang berdiri sendiri, sistematis dan masing- masing kaidah
di topang dengan dalil dan segi analisis nya
adalah Imam Muhammad Bin Idris Asy- Syafi’i. Beliau menulis kitab Ar- Risalah yang hingga kini masih dapat
di jumpai. Oleh karena itu, yang terkenal sebagai peletak ilmu ushul fiqh di
kalangan ulama adalah Imam Syafi’i.[9]
Ilmu
Ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam penyusunan ilmu
fiqh dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Sebenarnya keberadaan fiqh harus
di dahului oleh ushul fiqh, Karena ushul fiqh itu adalah ketentuan atau kaidah
yang harus di ikuti mujtahid pada waktu menghasilkan fiqhnya. Namun dalam
perumusanya ushul fiqh dating belakangan.
Perumusan
fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung sesudah Nabi wafat yaitu priode sahabat.
Pemikiran dalam ushul fiqh telah ada pada waktu perumusan fiqh itu. Para
sahabat di antaranya ‘Umar Ibn Khattab, Ibnu Mas’ud, ‘Ali Ibn Thalib umpanya
pada waktu mengemukakan pendapatnya tentang hukum, sebenarnya sudah menggunakan
aturan atau pedoman dalam merumuskan hukum, meskipun secara jelas mereka tidak
menggunakan demikian .
Pada
priode Tabi’in lapangan istimbath atau perumusan hukum semakin meluas karena
begitu banyaknya peristiwa hukum yang bermunculan. Dalam masa itu beberapa orang tabi’in tampil sebagai
pemberi fatwa hukum terhadap kejadian yang muncul, umpamanya Sa’id Ibnu
Musayyab di Madinah dan Ibrahim al- Nakha’I di Irak. Masing- masing dari ulama
ini mengetahui dengan baik ayat- ayat hukum dalam Al- Qur’an dan mempunyai
koleksi yang lengkap tentang hadist Nabi. JIka mereka tidak menemukan jawaban
hukum dalam Al- Qur’an atau Hadist, sebagaian dari mereka mengikuti metode maslahat dan
sebagian
mengikuti metode qiyas. Usaha
istimbath hukum yang dilakukan Ibrahim an- Nakha’I dan ulama Iraklainya
mengarah pada mengeluarkan ‘illat hukum dari nash dan menerapkanya dalam
peristiwa yang sama yang baru bermunculan kemudian hari.
Dari
keterangan di atas jelaslah bahwa metoda yang di gunakan dalam merumuskan hukum
syara’ semakin memperlihatkan bentuknya. Perbedaan metoda yang di gunakan
menyebabakan timbulnya perbedaan aliran dalam fiqh.
Abu Hanifah dalam usaha merumuskan fiqhnya
menggunakan metoda tesendiri. Ia menetapkan
Al- Qur’an sebagai sumber pokok, kemudian hadist Nabi, berikutnya fatwa sahabat.
Ia mengambil hukum- hukum yang telah disepakati para sahabat.Dalam hal- hal
yang ulama sahabat berbeda pendapat, ia memilih satu diantaranya yang diangkap
lebih kuat. Abu Hanifah tidak mengambil pendapat ulama tabi’in sebagai dalil
dengan pertimbangan bahwa ulama tabi’in itu berada satu rangking denganya.
Metodanya dalam menggunakan qiyas dan istihsan[10]
terlihat nyata sekali.
Imam
Syafi’I pantas disebut sebagai orang pertama yang menyusun sitem metodologi
berfikir tentang hukum islam, yang kemudian popular dengan sebutan ushul fiqh ,
sehingga tidak salah ucapan seorang orientalis Inggris, N. J. Coulson, yang
mengatakan bahwa Imam Syafi’I adalah
arsitek ilmu fiqh.Hal ini bukanlah berarti beliau yang merintis dan
mengembangkan ilmu tersebut. Jauh sebelumnya, mulai dari para sahabat, tabi’in
bahkan di kalangan imam mujtahid belakangan seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan
juga di kalangan ulama syi’ah seperti Muhammad Al- BAqir dan ja’far al- shadiq
sudah menggunakan dan menemukan metodologi dalam perumusan fiqh.Tetapi mereka
belum menyusun ilmu itu secara sistematis sehingga dapat di sebut sebagai ilmu
yang berdiri sendiri.[11]
Dalam
kitab ushul fiqh yang di susun Imam Syafi’I yang berjudul Ar- Risalah. Kitab ini disusun berdasarkan khazanah fiqh yang di
tinggalkan para sahabat, tabi’in dan
imam- imam mujtahid sebelumnya . Imam Syafi’I mempelajari secara seksama
perdebatan yang terjadi antara Ahl-
Hadist yang bermarkas di Madinah dengan Ahl- Ra’yu di Iraq. Dari kedua
aliran ini Imam Syafi’I berusaha untuk mengempromikan pandangan kedua aliran
tersebut, serta menyusun teori- teori
ushul Fiqhnya. Dalam kitabnya Ar- Risalah, imam Asy- Syafi’I berusaha
memperlihatkan pendapat yang sahih dan pandangan yang tidak sahih, setelah
melakukan berbagai analisi dari pandangan kedua aliaran, Iraq dan Madinah.
Berdasarkan analisis inilah, Ia membuat teori ushul fiqh yang diharapkan dapat
dijadikan patokan umum dalam mengistinbatkan hukum, mulai dari generasinya
sampai generasi selanjutnya.
Kandungan
kitab Ar- Risalah ini pada masa
sesudah imam Asy- Syafi’i menjadi bahan
pembahasan para ulama ushul fiqh secara luas. Pembahasan mereka ada yang berbentuk
men- syarh
( menjelaskan) secara luas apa yang di kemukakan Imam Asy- Syafi’I dalam
kitabnya itu, tanpa mengubah atau menguranginya.Namun, ada juga yang melakukan
pembahasan yang bersifat analisis terhadap pendapat dan teori Imam Asy-
Syafi’I, dengan mengemukakan aspek- aspek kekuatan dan kelemahan teori Imam
Asy- Syafi’I dan terkadang mengemukakan
pendapat yang berlawanan dengan pendapat Imam Asy- Syafi’I. Misalnya, Ulama
ushul fiqh dari kalangan Hanafi mengaku teori- teori ushul fiqh Imam Asy- Syafi’I,
tetapi mereka menambahkan metode atau teori lainya, yaitu istihsan dan ‘Urf[12]
dalam mengistimbathkan hukum. Ulama ushul fiqh Malikiyyah juga melakukan hal yang sama karena setatus ijma’ Ahl- Madinah (kesepakatan penduduk
madinah), karena setatus ijma Ahl-
Madinah, menurut mereka sunah yang secara turun temurun dilaksanakan sejak
zaman Rasulullah SAW. Sampai zaman mereka.
Ijma Ahl- Madinah tidak diterima Imam Asy- Syafi’I sebagai salah satu dalil
dalam menetapkan hukum islam. Disamping itu, Ulama Ushul fiqh Malikiyyah juga menambahkan metode istihsan, masalah mursalah (yang
keduanya ditolak Imam Asy- Syafi’I ), dan metode sad- Dzariah[13].
Para
Imam mazhab dari keempat mazhab tersebut sepakat dengan dalil- dalil yang
dikemukakan Imam Asy- Syafi’I, yaitu Al-
Qur’an, sunnah, Ijma, dan Qiyas. Namum
masing- masing mazhab menambahkan istinbath hukum lainya, seperti yang
dikemukakan di atas . Dalam analisi para ahli ushul fiqh kontemporer, seperti
Husain Hamid Hasan dari berbagai metode yang dikemukakan para Imam mazhab
diatas, ulama ushul fiqh Syafi’iyah (para
pengikut Imam Asy- Syafi’i) ternyata meneriama metode ‘Urf, Maslahah mursalah, dan saad dzariah.Akan tetapi, mereka
menolak metode istihsan dan ijma’ Ahl- Madinah, karena dipandang tidak dapat
dijadikan sebagai salah satu metode dalam mengistimbathkan hukum Islam.
Terlepas
dari perbedaan pendapat kalangan ushul fiqh (temasuk di kalangan imam mazhab
yang empat), tentang berbagai metode ijtihad yang ada, para analisis ushul fiqh
menyatakan bahwa pada masa keempat imam mazhab tersebut ushul fiqh menemukan
bentuknya yang sempurna, sehingga generasi- generasi sesudahnyha cendrung
memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang mereka hadapi pada
zamn masing- masing.[14]
B.Aliran- Aliran Ushul Fiqh
Dalam
sejarah perkembangan fiqh dikenal dengan dua aliran ushul fiqh yang berbeda. Perbedaan ini muncul
akibat perbedaan dalam membangun teori ushul fiqh yang digunakan dalam menggali
hukum islam. Aliran pertama disebut dengan aliran Syafi’iah dan jumhur Mutakalimin
(ahli kalam). Aliran ini membangun ushul fiqh mereka teoretis, tanpa
terpengaruh oleh masalah- masalah furu’
( masalah keagamaan yang tidak pokok). Dalam membangun teori, aliran ini
menetapkan kaidah- kaidah dengan alas an yang kuat,baik dari naqli (Al- Qur’an dan sunah) maupun dari
aqli (akal fikiran), tanpa di
pengaruhi oleh masalah- masalah furu’.
Setiap permasalahn yang diterima akal dan didukung oleh dalil naqli,dapat dijadikan kaidah. Baik kaidah
itu sejalan dengan furu’ mazhab
maupun tidak, sejalan dengan kaidah yang telah ditetapkan imam mazhab atau
tidak.
Namun,
pada kenyataanya dikalangan Syafi’iyah
sendiri terjadi pertentangan, misalnya Al- Maidi yang mengajukan kekhujjahan
ijma’ sukuti, padahal Imam Syafi’I sendiri tidak mengakuinya. Padahal ijma’
yang di akui secara mutlaq oleh Imam Syafi’I adalah ijma’ dikalangan sahabat
saja secara jelas. Pendapat Al- Maidi tersebut sebenarnya merupakan salah satu
konsekuensi dari usahanya bersama Al- Qarafi ( Tokoh ushul fiqh Malikiyyah)
untuk menyatukan dua aliran Ushul fiqh.
Sebagai
akibat dari perhatian yang terlalu di fokuskan pada masalah teoritis, aliran
ini sering tidak bias menyentuh permasalahan praktis. Aspek bahasa dalam aliran
ini sangat dominan , seperti penentuan tentang tahsin ( menganggap sesuatu itu baik dan dapat dicapai akal atau
tidak), dan taqbih ( menganggap
sesuatu itu buruk dan dapat di capai akal atau tidak). Permasalahan tersebut
biasanya berkaitan dengan pembahasan tentang hakim (pembuat hukum syara)yang berkaitan pula dengan masalah
aqidah.Selain itu, aliran ini seringkali terjebak terhadap masalah yang tidak
mungkin terjadi dan terhadap kema’shuman Rasulullah SAW.
Kitab
setandar aliran ini antara lain: Ar-
Risalah ( Imam Asy- Syafi’i), Al
Mu’tamad (Abu Al- Husain Muhammad ibnu ‘Ali Al- Bashri), Al Burhan fi Ushul Fiqh (Imam Haramain
Al Juwaini), Al- Mankhul min Ta’liqad AL-
Ushul, Syifa Al- Ghalil fi Bayan Asy- Syabah
wa Al- Mukhil wa Masalik At- Ta’lil, Al- Mushfa fi ilmi Al- Ushul (
ketiganya karangan Imam Abu Hamid Al- Ghazali).[15]
Aliran
kedua dalam ilmu ushul fiqh adalah aliran fuqoha,yang dianut ulama- ulama
mazhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqoha, karena aliran ini dalam membangun teori
ushul fiqhnya banyak di pengaruhi oleh masalah furu’ yang ada dalam mazhab mereka. Dalam menetapkan teori
tersebut, apabila terdapat pertentangan antara kaidah yang ada dengan hukum furu’, maka kaidah tersebut di ubah dan
di sesuaikan dengan hukum furu’. Oleh
sebab itu, aliran ini berupaya agar kaidah
yang mereka susun sesuai dengan hukum- hukum furu’ yang berlaku dalam mazhabnya, sehingga tidak satu kaidah pun
yang tidak bias diterapkan.
Berbeda
dengan aliran Syafi’iyah/ Mutakalimin yang sama sekali tidak terpengaruh oleh furu’ yang ada dalam mazhabnya, sehingga
sering terjadi pertentangan kaidah dengan hukum furu’dan terkadang kaidah yang di bangun sulit untuk diterapkan.
Apabila suatu kaidah bertentangan dengan furu’ maka mereka berusaha untuk
mengubah kaidah tersebut dan membangun kaidah lain yang sesuai dengan masalah furu’ yang mereka hadapi. Misalnya
mereka menetapkan kaidah bahwa ”Dalil yang umum itu bersifat Qath’I (pasti). Akibatnya, apabila
terjadi pertentangan dalil umum dengan hadist ahad ( bersifat dzanni), maka dalil umum ini yang
diterapkan karena hadist ahad hanya bersifaf dzanni ( relative), sedangkan dalil umum bersifat qath’I, yang qath’I tidak bias dikalahkan dan di khususkan oleh yang dzanni.[16]
Diantara
kitab- kitab setandar dalam aliran fuqoha ini antara lain: kitab Al- Ushul (Imam Abu Hasan Al- Karkhi), Kitab Ushul ( Abu Bakar AL- Jhashshash),
Ushul Al- Sarakhsi ( Imam Sarakhsi), Ta’sis An- Nazhar ( Imam Abu Zaid Al-
Dabusi), dan Al- Kasyaf Al- Asrar (
Imam Al- Bazdawi). (Ad- Dimasyqi: 42- 43).
Adapun kitab-
kitab Ushul fiqh yang menggabungkan kedua teori di atas antara lain:
1.
At- Tahrir, di susun oleh Kamal
Ad- Din Ibnu Al- Humain Al- Hanafi (w. 861 H).
2.
Tanqih Al- Ushul, di susun oleh
Shadr Asy- Syari’ah (w. 747 H). Kitan ini merupakan rangkuman dari tiga kitab
Ushul fiqh, yaitu: Kasf Al- Asrar (Imam Bazdawi), Al Mahsul ( Faqih Ad- Din Ar-
Razi Asy- Syafi’i) dan Mukhtasar Ibnu Al- Hajib ( Ibnu Al- Hajib Al- Maliki).
3.
Jam’u Al Jamawi, di susun oleh
Taj Ad- Din Abd Al- Wahab As- Subki Asy- Syafi’I (w. 771 H)
4.
Musallam Ats- Tsubut, di susun
oleh Muhibullah Ibnu Abd Al- Syakur ( w. 1119H). ( Ad- Dimasyqi: 42- 43).
Pada Abad 8
muncul Imam Asy- Syatibi (w.790 H) yang menyusun kitab Al- Muwafaqot fi Al-
Ushul Asy- Syari’ah. Pembahasan ushul fiqh yang dim kemukakan dalam kitab
tersebut berhasil memberikan corak baru, sehingga para ulama ushul fiqh
kontemporer yang komperhensip dan
akomodatif untuk zaman sekarang.[17]
Penutup
Dari
uraian-uraian dan penjelasan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
·
Sejarah perkembangan ushul fiqh
tidak terlepas dari perkembangan hukum islam sejak zaman Rasulullah SAW sampai
pada saat tersusunya Ushul Fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2
Hijriah. Pada. Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum islam hanya dua, yaitu Al-
Qur’an dan Sunnah. Apabila muncul suatu kasus, Raulullah SAW menunggu turunya
wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka
beliau menitipkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, maka beliau menetapkan
hukum kasus tersebut melalui sabdanya yang di kenal dengan hadist atau sunnah. Cara-
cara Rasulullah SAW dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya
ilmu fiqh. Karena, para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa keberadan ushul fiqh
bersamaan dengan hadirnya fiqh, yaitu sejak zaman Rasulullah SAW. Bibit ini
semakin jelas di zaman para sahabat, karena wahyu dan sunah Rasul tidak ada
lagi, sementara persoalan yang mereka hadapi semakin berkembang. Para tokoh
mujtahid yang termasyhur pada zaman sahabat, diantaranya Umar Ibn Khattab, Ali
ibn Abi Thalib, dan Abdullah ibn Mas’ud. Pada priode Tabi’in lapangan istimbath
atau perumusan hukum semakin meluas karena begitu banyaknya peristiwa hukum
yang bermunculan.
·
Ushul fiqh ini di bentuk dengan
metode- metode yang di dasarkan pada pandangan
yang telah di lakukan generasai sebelumnya, yakni generasai sahabat,
dalam menentukan hukum. Ulama penghimpun ushul fiqh pertama kali dalam satu
kitab adalah Imam Abu Yusuf, Teman Abu Hanifah. Namun, kitab tersebut tidak
pernah sampai pada generasi seterusnya. Namun Ulama yang pertama kali
mengadakan kodifikasi kaidah- kaidah dan kajian- kajian ilmu ini dalam suatu
kumpulan yang berdiri sendiri, sistematis dan masing- masing kaidah di topang
dengan dalil dan segi analisis nya
adalah Imam Muhammad Bin Idris Asy- Syafi’i. Beliau menulis kitab Ar- Risalah yang hingga kini masih dapat
di jumpai. Oleh karena itu, yang terkenal sebagai peletak ilmu ushul fiqh di
kalangan ulama adalah Imam Syafi’i. Dan ini di perkuat oleh seorang orientalis
Inggris, N. J. Coulson, yang mengatakan bahwa
Imam Syafi’I adalah arsitek ilmu fiqh.
·
Dalam sejarah perkembangan fiqh
dikenal dengan dua aliran ushul fiqh
yang berbeda. Perbedaan ini muncul akibat perbedaan dalam membangun teori ushul
fiqh yang digunakan dalam menggali hukum islam. Aliran pertama disebut dengan
aliran Syafi’iah dan jumhur Mutakalimin (ahli kalam). Dan
Aliran kedua dalam ilmu ushul fiqh adalah aliran fuqoha,yang dianut ulama-
ulama mazhab Hanafi.
DAFTAR
PUSTAKA
Murtadha
Muthahhari & M. Baqir Ash- Shadr, Pengantar
Ushul Fiqh,(Ciputat: Pustaka Hidayah, 1993).
Drs.
Chaerul Umam, Dkk, Ushul Fiqh 1,(
Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2000).
Hasbiash
Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh.
Suyatno,
Dasar- dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh,(Jogjakarta:
Ar- Ruzz Media, 2011).
Prof.
Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,
Jilid 1, (ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997).
Prof. DR. Rachmat
Syafe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqh,
(Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2007).
[1]
.Ijtihad: adalah memberikan
segala kesanggupan (daya fikir) untuk memetik sesuatu hukum syara’ dari
kitabullah dan sunah Rasul. Kalau ijtihad itu dari pengertian nash, maka hasil
ijtihad itu dikatakan qiyas atau ra’yu. Lebih lanjut di kamus fiqh dalam dalam
buku karangan M. Hasbiash Shiddieq, pengantar Ilmu Fiqh, hal 207.
[2]
.Hadist Ahad: Adalah hadist
yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Oleh sejumlah orang yang tidak sampai
pada batas mutawattir dalam tiga masa. Lebih lanjut lihat dalam Drs. Chaerul
Umam, Dkk, Ushul Fiqh 1,( Bandung: CV
PUSTAKA SETIA, 2000).h. 69.
[3]
. Ijma’: pengertian ijma’
secara etimologi ada 2 macam, yaitu: 1. Ijma berarti kesapakatan atau konsesus,
2. Ijma berarti tekad atau niat., Sedangkan secara terminology Imam Al- Ghazali
merumuskan: ijma adalah “Kesepakatan umat Nabi Muhammad SAW secara khusus
tentang suatu masalah agama”. Yaitu seluruh umat islam ,termasuk orang awam.
Lebih detailnya lihat di
dalam, Ibid .h. 73- 74 dan Prof. Dr. H. Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, (ciputat:
Logos Wacana Ilmu, 1997).h112- 115
[4]
Murtadha Muthahhari &
M. Baqir Ash- Shadr, Pengantar Ushul Fiqh,(Ciputat:
Pustaka Hidayah, 1993). H. 11-12.
[5]
.Qiyas: Menurt bahasa
adalah pengukuran suatu dengan yang lainya atau penyamaan sesuatu dengan yang
sejenisnya. Sedangkan secara umum qiyas adalah suatu proses penyingkapan
kesamaan hukum suatu kasus yang tidak di
sebabkan dalam suatu nash., dengan suatu hukum yang di sebutkan dalam nash karena kesamaan dalam illatnya.
LIhat lebih detailnya dalam,
Prof. DR. Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu Ushul
Fiqh, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2007),h. 86- 87.
[6] . Drs. Chaerul Umam, Dkk,Op, cit h.22- 25
[7] .Hasbiash Shiddieqy, Op cit. h160- 161
[8] . Op, Cit. h 69- 70
[9] .Suyatno, Dasar- dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh,(Jogjakarta: Ar- Ruzz
Media, 2011). H.27- 29
[10]
.Istihsan: secara harfiah,
istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung- hitung sesuatu
dan menganggapnya kebaikan.(kamus lisan bahasa arab). Sedangkan menurut istilah
Imam Al- Ghazali dalam kitabnya Al- Mustashfa juz 1: 137,:” istihsan adalah
semua hal yang di anggap baik oleh mujtahid menurut akalnya”. Lihat
lebih detailnya dalam Prof.
DR. Rachmat Syafe’I, MA. Op, Cit h.111
[11]
. Prof. Dr. H. Amir
Syarifuddin, Op, Cit .h. 36- 38
[12]
Uruf : secara etimologi
berarti ‘sesuatu yang dipandang baik,
yang dapat diterima akal sehat’. Menurut kebanyakan ulama uruf dinamakan
juga adat, sebab perkara yang dilakukan berulang kali dilakukan manusia.
Namun, sebenarnya adat itu
lebih luas daripada uruf sebab, adat kadang- kadang terdiri atas adat
perseorangan atau bagi orang tertentu, sehingga hal ini tidak bias dinamakan
uruf. Dan kadang- kadang terdiri atas adat masyarakat. Maka inilah yang disebut
uruf, baik uruf itu bersifat khusus ataupun umum. Lihat lebih detailnya dalam, Drs.
Chaerul Umam, Dkk, Op, Cit. h. 159.
[13]
Sad- Dzariyah: ialah
menyumbat segala sesuatu yang menjadi jalan menuju kerusakan. . Chaerul Umam,
Dkk, Op, Cit. h. 187- 188
[14] .
Drs. Chaerul Umam, Dkk, Op, Cit. h.27- 28
[15] .Prof. DR. Rachmat Syafe’I, MA. Op, Cit h. 45
[16]. Drs. Chaerul Umam, Dkk, Op, Cit. h. 29
[17] Prof. DR. Rachmat Syafe’I, MA. Op Cit
H.46
0 Response to "Sejarah Perkembangan dan Aliran- Aliran Ushul Fiqh"
Post a Comment