WELCOME TO MY BLOG

(BABUL 'ILMI)

makalah ilmu kalam tentang ahlus sunnah wal jama'ah al-asy'ari dan al maturidi


Tugas Individu
AHLUS SUNNAH (AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI)
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam II
Dosen:  Drs. Ahmad Syukri, M. M.
Disusun Oleh:
                                    NAMA                                         NPM
Asy'ari                                        1311010275                         
                                    Jurusan                     :  Pendidikan Agama Islam
                                    Jurusan                     :  Pendidikan Agama Islam
Semester                  :  03 (tiga)

Kelas                         : F
 





FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
1437 H / 2016 M




KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr, Wb.
Puji syukur Alhamdulillah  kami haturkan kehadirat Allah S.W.T  karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan  Tugas Uts Kalam II mengenai Ahlus Sunnah ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.
Dan juga kami berterima kasih kepada Bp. Drs. Ahmad Syukri, M. M. selaku Dosen mata kuliah Kalam II yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna, dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Ahlus Sunnah. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan.                          
Untuk itu, kami berharap adanya kritik, dan saran serta  usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun. Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya Makalah  yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di kesempatan yang lainnya.
Wassalamualaikum Wr, Wb.

Bandar Lampung, 28 Februari 2016


Penyusun



DAFTAR ISI
JUDUL MAKALAH....................................................................................... 1
KATA PENGANTAR.................................................................................... 2
DAFTAR ISI................................................................................................... 3
BAB  I PENDAHULUAN..............................................................................
A.  Latar Belakang..................................................................................... 4
B.  Rumusan Masalah.............................................................................. 4
C. Tujuan Penulisan................................................................................ 5
BAB  II PEMBAHASAN...............................................................................
     A. Definisi Ahlus Sunnah....................................................................... 6
     B. Sejarah Munculnya Istilah Ahlus Sunnah .................................... 6
     C. Tokoh-Tokoh Ahlus Sunnah ........................................................... 7
     D. Aqidah Ahlus Sunnah ........................................................................... 19
     E. Ciri-Ciri Ahlus Sunnah ........................................................................... 21
     F. Ciri Golongan Yang Meninggalkan As Sunnah................................. 22
     G. Hukum Orang Yang Menentang Sunnah........................................... 22
     ANALISIS........................................................................................................ 24
BAB  III PENUTUP.......................................................................................
A. Kesimpulan............................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang.
Banyak di kalangan kita, bahwa realitas umat muslim selalu terpecah belah sepeninggal  Rasulnya. Setelah datang ilmu kepada mereka, namun mereka saling berlaku dzalim. Maka manusiapun  berjalan  mengikuti hawa nafsunya.
Mereka saling berbeda pendapat hingga timbullah berbagai mazhab, aliran, bid’ah, dan berbagai pandangan. Mereka meninggalkan kitab Rabbnya dan Sunnah Nabi. Akibatnya mereka terlempar kedalam jurang-jurang sesat. Mereka lebih mengikuti keinginannya daripada mengikuti petunjuk Allah dan Rasulnya.
Daripada itu, mereka menganggap dirinya adalah Ahlus Sunnah, padahal mereka bukanlah Ahlus Sunnah, melainkan ahli sesat dan menyesatkan.
Oleh karena itu, untuk mengetahui siapa sebenarnya Ahlus Sunnah tersebut, pada pembahasan ini kami akan menyajikan materi tentang  Ahlus Sunnah yang tak kalah menarik untuk di bahas. Semoga ini bisa menjadi pembelajaran kita semua. Aamiin.

B.  Rumusan Masalah
1.  Apa yang di maksut dengan Ahlus Sunnah  dan bagaimana sejarah munculnya aliran tersebut?.
  2.  Siapakah Tokoh-tokoh aliran Ahlus Sunnah  dan apa saja doktrinnya?.
3.  Apa sajakah aqidah dan ciri-ciri Ahluss Sunnah ?.
4. Bagaimana ciri dan Hukum Orang yang menentang Ahlus Sunnah !.


C. Tujuan Penulisan
       1. Mengetahui pengertian, sejarah, tokoh dan doktrin aliran Ahlus Sunnah.
      2.  Untuk memperdalam pemahaman Mahasiswa agar mempunyai wawasan yang luas tentang aqidah dan ciri Ahlus Sunnah.
      3.  Mengerti apa saja ciri dan hukum orang yang menentang ahlus Sunnah.






BAB II
PEMBAHASAN
A.  Definisi Ahlus Sunnah.
Ahlussunnah adalah mereka yang menempuh seperti apa yang pernah di tempuh oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya di sebut ahlussunnah, karena kuatnya mereka berperang dan ber itiba’ (mengikuti) sunnah Nabi saw dan para sahabatnya.
As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan atau cara. Sedangkan menurut Ulama ‘aqidah (termilogi) As-Sunnah adalah petunjuk yang telah di tunjukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hambali (wafat 795) : As-Sunnah ialah jalan yang di tempuh, mencangkup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang di laksanakan Nabi saw dan para Khalifahnya yang di terpimpin lurus, berupa I’tikad (keyakinan, perkataan dan perbuatan, itulah As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu, generasi salaf yang terdahulu tidak menamakan as-sunnah.
Jadi Ahlussunnah adalah orang yang mempunyai sifat dan berkarakter mengikuti sunnah Nabi saw, dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam masalah agama.

B.  Sejarah Munculnya Istilah Ahlus Sunnah.
Penamaan istilah Ahlussunnah sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun yang di mulyakan Allah, yaitu generasi Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut tabi’in. Ketika menafsirkan firman Allah S.W.T.
‘’ Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan adapula yang hitam muram, adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka di katakan) ; kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman ? karena itu rasakanlah azab di sebabkan kekafiran itu (Q.S. Ali ‘Imran ayat 106)’’.
            Abudullah bin Abbas ra. Berkata: ‘’adapun orang-orang yang putih wajahnya, mereka adalah Ahlussunnah, sedangkan orang-orang yang hitam wajahnya, mereka adalah Ahlul Bid’ah dan sesat’’.
            Kemudian Ahlussunah ini di ikuti oleh kebanyakan Ulama Salaf, diantaranya: Ayyubas Sikhtiyani rh, Sufyan ats-Tsaury rh, Fudhail bin I’yad, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam dan lain-lain.
            Dengan demikian, Istilah Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak sebagai lawan kata  Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang Aqidah Ahlus Sunnah, agar umat faham tentang ‘aqidah yang benar, dan untuk membedakan antar mereka dengan Ahlul Bid’ah.[1]

C. Tokoh-Tokoh Ahlus Sunnah.
1.  Al-Asy’ari (875-935 M).
a.  Riwayat Hidup Singkat Al-Asy’ari.
Nama lengkap  Asy’ari adalah Al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin ‘Abdillah bin Musa Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Menurut berapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Basrah pada tahun 260 H/875 M. Setelah berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.[2]
Menurut Ibn ‘Asakir (w. 571 H), ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham ahlusunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia sempat berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu ‘Ali Al-Jubba’i (w. 303 H/915 M), ayah kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i (w. 321 H/932 M). Berkat didikan ayah tirinya, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Sebagai tokoh mu’tazilah, ia sering menggantikan Al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan mu’tazilah dan banyak menulis buku yang membela alirannya.[3]

b.  Karya Al-Asy’ari
Karangan-karangan beliau kurang lebih 90 buah, tetapi kitab-kitabnya yang terkenal ada tiga di antaranya:
-  Maqalat al-Islamiyyin (pendapat-pendapat golongan-golongan islam).
Kitab ini adalah kitab yang pertama kali di karang tentang kepercayaan-kepercayaan golongan islam, dan juga merupakan sumber terpenting karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya. Kitab tersebut di bagi tiga. Pertama berisi pendapat bermacam-macam golongan islam. Kedua tentang pendirian ahli hadits dan sunnah dan bagian ketiga tentang bermacam-macam persoalan ilmu kalam.
-  Al-Ibanah an Ushulud Diyanah (keterangan tentang dasar-dasar agama).[4]
Kitab ini berisi uraian tentang kepercayaan ahli sunnah dan di mulainya memuji Ahmad bin Hanbal dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Uraian-uraian kitab ini tidak tersusun rapi, meskipun menyangkut persoalan-persoalan yang penting dan banyak sekali.
-  Al-Luma (sorotan).
Kitab ini di maksudkan untuk membantah lawan-lawannya dalam beberapa persoalan ilmu kalam.
c.   Mazhab Dan Corak Pemikiran Al-Asy’ari.
Dua corak yang kelihatannya berlawanan pada diri Al-Asy’ari, akan tetapi sebenarnya saling melengkapi.
Pertama; Ia berusaha mendekati orang-orang aliran fiqih Sunni, sehingga ada yang mengatakan bahwa ia bermazhab Syafi’iy. Yang lain mengatakan, ia bermazhab maliki. Lainya lagi mengatakan bahwa ia bermazhab hanbali.
Kedua; adanya keinginan mejauhi aliran-aliran fiqih.
Dua hal tersebut adalah akibat pendekatan diri kepada aliran-aliran (mazhab) fikih Sunni dan keyakinan adanya kesatuan aliran-aliran tersebut dalam soal-soal kecil (furu’). Karena itu menurut pendapat Al-Asy’ari, semua orang yang berijtihad adalah benar.
Asy’ari, sebagai orang yang pernah menganut paham Mu’tazilah, tidak menjauhkan diri dari pemakaian akal pikiran dan argumentasi fikiran. Ia menentang dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa pemakaian akal-pikiran dalam soal-soal agama atau membahas soal-soal yang tidak pernah di singgung-singgung Rasul adalah salah. Sahabat-asahabat Nabi sendiri sesudah Rasul wafat banyak membicarakan soal-soal baru. Meskipun demikian, mereka tidak di sebut orang-orang sesat (bid’ah). Di dalam kitabnya ‘’ Istihsan al-Khawdi Fil Ilmi al-Kalam’’ (kebaikan menyelami ilmu kalam), ia menentang keras orang yang berkeberatan membela agama dengan ilmu kalam dan argumentasi fikiran, keberatan mana tidak ada dasarnya dalam Qur’an maupun Hadits.[5]
Dalam pada itu, ia juga mengingkari orang yang berlebih-lebihan menghargai akal pikiran, yaitu golongan Mu’tazilah. Karena golongan ini tidak mengakui sifat-sifat Tuhan, maka di katakannya telah sesat, sebab mereka telah menjauhkan Tuhan dari sifat-sifatnya dan meletakkannya dalam bentuk yang tidak dapat di terima oleh akal. Juga karena mereka mengingkari kemungkinan terlihatnya Tuhan dengan mata kepala. Apabila pendapat ini di benarkan, maka akan berakibat tidak mengakui hadits-hadits Nabi, salah satu tiang agama.
Dengan demikian, jelaslah kedudukan Al-Asy’ari seperti yang di gambarkan pengikut-pengikutnya, sebagai seorang muslim yang benar-benar ikhlas membela kepercayaannya, mempercayai sepenuhnya isi nas-nas al-Qur’an dan Hadits, dengan menjadikannya sebagai dasar/pokok di samping menggunakan akal-fikiran yang tugasnya tidak lebih daripada memperkuat nas-nas tersebut.[6]

d.  Doktrin-Doktrin Teologi Al-Asy’ari.
Formulasi pemikiran Al-Asyari, secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrem pada satu sisi dan mu’tazilah pada sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis terhadap mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak bisa 100% menghindarinya. Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah sebagai berikut.
a.  Tuhan dan Sifat-Sifatnya.[7]
Perbedaan pendapat di kalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tidak dapat di hindarkan meskipun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-Asy’ari di hadapkan pada dua pandangan yang ekstrem. Pada satu pihak, ia berhadapan dengan kelompok sifatiah (pemberi sifat), kelompok mujassimah (antropomorfis), dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang di sebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah bahwa sifat-sifat itu harus di pahami menurut arti harfiahnya. Pada pihak lain, ia berhadapan dengan kelompok mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensinya, dan tangan, kaki, telinga Allah atau arsy atau kursi tidak boleh di artikan secara harfiah, tetapi harus di jelaskan secara elegoris.
        Menghadapi dua kelompok yang berbeda tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh di artikan secara harfiah, tetapi secara simbolis (berbeda dengan pendapat kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah unik dan tidak dapat di bandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensinya. Dengan demikian, tidak berbeda dengannya.[8]

b.  Kebebasan Dalam Berkehendak (free-will).
        Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan serta mengaktualitaskan perbuatannya. Al-Asy’ari mengambil pendapat menengah di antara dua pendapat yang ekstrem, yaitu jabariah yang fatalistik dan menganut paham pra-determinisme semata-mata, dan mu’tazilah yang menganut paham kebebasan mutlak  dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Untuk menegahi dua pendapat di atas,  Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang mengupayakannya (muktasib), hanya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
        Menurut al-Asy’ari, semua perbuatan(aksab) manusia adalah makhluk atau di ciptakan oleh Allah.  Selanjutnya beliau mengatakan: ‘’ semua perbuatan mestilah ada yang membuatnya. Tidak ada sesuatu perbuatan yang tidak ada pelakunya. Pelaku atau Fa’il itu tidak lain hanyalah Allah. Demikian juga, suatu perbuatan mesti ada muktasib. Dan karena perbuatan atau al-fi’il adalah kasb, maka muktasibnya tidak lain adalah Allah juga.[9]

c.   Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
        Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mu’tazilah mengutamakan akal. Dalam menentukan baik burukpun terjadi perbedaan pendapat di anatar mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan mu’tazilah berdasarkan pada akal.

d.  Qadimnya Al-Qur’an
        Al-Asy’ari di hadapkan pada dua pandangan ekstrem dalam persoalan qadimnya Al-Qur’an. Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an di ciptakan (makhluk), dan tidak qadim, serta pandangan mazhabhanbali dan zahiriah yang menyatakan bahwa al qur’an adalah kalam (yang qadim dan tidak di ciptakan). Bahkan, zahiriah berpendapat bahwa semua huruf, kata-kata, dan bunyi al qur’an adalah qadim.
        Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saing bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al qur’an terdiri atas kata-kata, huruf, dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada esensi Allah dan tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-qur’an bagi Al-Asy’ari tidak di ciptakan sebab apabila di ciptakan, sesuai dengan ayat:
‘’ sesungguhnya firman kami terhadap sesuatu apabila kami menghendakinya, kami hanya menciptakan kepadanya, jadilah!, maka jadilah sesuatu itu.’’(Q.S. An-Nahl: 40).[10]

e.  Melihat Allah
        Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok otodoks ekstrem, terutama Zahiriah, yang menyatakan bahwa Allah dapat di lihat di akhirat dan memercayai bahwa Allah bersemayam di ‘Arsy. Selain itu, Al-Asy’ari tidak sependapat dengan mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah ) di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat di lihat di akhirat, tetapi tidak dapat di gambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Allah yang menyebabkan dapat di lihat atau ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihatnya.


f.    Kedudukan Orang Berdosa
        Al-Asy’ari  menolak ajaran posisi menengah yang di anut mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang harus satu di antaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berdosa besar adalah mukmin yang fasik sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.[11]

2.  Al- Maturidi (w. 994 M).
a.  Riwayat Hidup Singkat Al- Maturidi
               Abu Manshur Al-Maturidi di lahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang di sebut Uzbekistan. Tahun, kelahirannya tidak di ketahui secara pasti, hanya di perkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 hijriah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. Ia hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yag memerintah tahun 232-274 H/847-861 M.
               Karier pendidikan Al-Maturidi lebih di kosentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqih, sebagai usaha memperkuat pengetahuannya untuk menghadapi paham-paham teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat islam, yang di pandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’. Pemikiran-pemikirannya sudah banyak di tuangkan dalam bentuk karya tulis, di antaranya adalah kitab Tauhid, Ta’wil Alqur’an, Raad Awa’il Al-Adillah, Ushul fi Ushul Ad-Din dan lain-lain.
b.  Sistem Pemikiran Al-Maturidi.
          Baik Maturidi maupun Al-Asy’ari, kedua-duannya menentang aliran Mu’tazilah, hanya Asy’ari menghadapi pusatnya, yaitu di basrah, sedang maturidi menghadapi cabang Mu’tazilah di negerinya yang mengulang-ulang fikiran-fikiran Mu’tazilah Basrah. Karena itu tidak mengherankan kalau pendapat kedua orang tersebut berdekatan. Selain karena persamaan lawan tersebut, juga karena tujuan kedua orang tersebut sama, yaitu membela kepercayaan-kepercayaan yang ada dalam Alqur’an dan dalam usahanya tersebut keduannya meningkatkan diri kepada kepercayaan-kepercayaan itu.
          Tetapi apabila di selidiki lebih lanjut, kita akan mengetahui bahwa perbedaan antara Al-Asy’ari dan Maturidi lebih jauh lagi, baik dalam cara maupun hasil pemikirannya, karena Maturidi (dan golongannya) memberikan kekuasaan luas kepada akal lebih daripada yang di berikan Al-Asy’ari.
Perbedaan tersebut nampak jelas dalam soal-soal berikut:
1.         Menurut aliran Asy’ariyah, mengetahui Tuhan di wajibkan Syara’, sedang menurut Maturidiyah di wajibkan akal.
2.         Menurut golongan Asy’ariyah, sesuatu perbuatan tidak mempunyai sifat baik dan buruk. Baik dan buruk tidak lain karena di perintahkan Syara’ atau di larangnya. Menurut Maturidiyah, pada tiap-tiap perbuatan itu sendiri ada sifat-sifat baik dan sifat-sifat buruk.[12]

c.   Doktrin-Doktrin Teologi Al-Maturidi
a.  Akal dan Wahyu.
         Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-qur’an dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari. Akan tetapi, porsi yang dii berikan pada akal lebih besar daripada yang di berikan Al-Asy’ari.
          Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat di ketahui dengan akal. Kemampuan akal mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung perintah agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan iman terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya.
          Apabila akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Orang yang tidak mau menggunakan akal unttuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang di perintahkan ayat-ayat tersebut. Menurut Al-Maturidi, akal tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya, kecuali dengan bimbingan dan wahyu.
          Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu terdapat pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syariah hanya mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Al-Maturidi mengetahui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan buruk. Dalam kondisi demikian, wahyu di perlukan untuk di jadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi sesuatu yang berkaitan dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1)        Akal hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
2)        Akal hanya mengetahui keburukan sesuatu itu.
3)        Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.[13]
          Mengetahui kebaikan atau keburukan sesuatu dengan akal, Al-Maturidi sependapat dengan mu’tazilah. Perbedaannya, mu’tazilah mengatakan bahwa perintah kewajiban melakukan yang baik dan menunggalkan yang buruk di dasarkan pada pengetahuan akal. Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus di terima dari ketentuan ajaran wahyu. Dalam persoalan ini, Al-Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari, baik atau buruk tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu di pandang baik karena perintah syara’ dan di pandang buruk karena larangan syara’. Jadi, yang baik itu baik karena perintah Allah dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada konteks ini, ternyata Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan Al-Asy’ariah.
b.  Perbuatan Manusia
          Menurut Al-Maturidi, perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaannya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaannya dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepadanya dapat di laksanakan.
          Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dengan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya (kasb)dalam diri manusia dan manusia bebas menggunakannya. Daya-daya tersebut di ciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dengan ikhtiar yang ada pada manusia.[14]

c.   Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
          Telah di uraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut Al-Maturidi bukan berarti Tuhan berkehendak dan berbuat dengan sewenang-wenang serta kehendaknya, karena qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), Tetapi perbuatan dan kehendaknya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah di tetapkannya.

d.  Sifat Tuhan
          Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat di temukan bersamaan antara pemikiran Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari. Seperti halnya Al-Asy’ari, ia berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama’, basar, dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat. Menurut Al-Maturidi, sifat tidak di katakan sebagai esensinya dan bukan pula lain dari esensinya.
          Tampaknya, paham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adannya sifat-sifat Tuhan.

e.  Melihat Tuhan
          Al Maturidi mengatakan bahwa Manusia dapat melihat Tuhan. Tentang melihat Tuhan ini di beritakan oleh Al-qur’an, antara lain firman Allah dalam surah Al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat di tangkap dengan penglihatan karena Tuhan mempunyai wujud, walaupun ia immaterial. Melihat Tuhan kelak di akhirat tidak memperkenalkan bentuknya (bila kaifa) karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.[15]

f.    Kalam Tuhan
          Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca: sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi  adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu(hadis). Al-Qur’an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu (hadis). Kalam nafsi tidak dapat di ketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat dengannya (bila kaifa) dan manusia tidak dapat mendengar atau membacanya, kecuali dengan perantara.
          Menurut Al-Maturidi, mu’tazilah memandang Al-Qur’an sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandangnya dari segi makna abstrak. Berdasarkan setiap pandangan tersebut, kalam Allah menurut mu’tazilah bukan sifatnya dan bukan pula lain dari dzatnya. Al-qur’an sebagai sabda Tuhan bukan sifat, melainkan perbuatan yang di ciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal.
          Pendapat mu’tazilah ini di terima Al-Maturidi tetapi Al-Maturidi lebih suka menggunakan istilah hadits sebagai ganti makhluk untuk sebutan Al-Qur’an. Dalam konteks ini, pendapat Al-Asy’ari juga ada kesamaan dengan pendapat Al-Maturidi karena yang di maksut Al-Asy’ari dengan sabda adalah makna abstrak, tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-Maturidi dan itu sifat kekal Tuhan.

g.   Perbuatan Manusia
            Menurut Al-Maturidi, tid ak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semua adalah dalam kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan tidak ada yang memaksa atau membatasinya, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang di tentukan oleh kehendaknya. Oleh karena itu, Tuhan tidak wajib baginya berbuat ash-shalah wa ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia). [16]
            Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepada manusia tidak terlepas dari hikmah dan keadilan yang di kehendakinya. Kewajiban-kewajiban tersebut, antara lain:
1)  Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga di beri Tuhan kemerdekaan dalam kemampuan dan perbuatannya.
2)  Hukuman atau ancaman dan janji pasti terjadi karena yang demikian merupakan tuntunan keadilan yng sudah di tetapkannya.

h.  Pengutusan Rasul
Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainya dari syariat yang di bebankan kepada manusia. Al-Maturidi berpendapat bahwa akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk dapat mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan rasul adalah hal niscaya yang berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang di sampaikan rasul, berarti manusia membebankan akalnya pada sesuatu yang berada di luar kemampuannya.
            Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan rasul ketengah-tengah umatnya adalah keajiban Tuhan, agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya dengan ajaran para rasul.[17]

i.    Pelaku Dosa Besar
            Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka, walaupun ia meninggal sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Berbuat dosa besar selain syirik tidak akan kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidak menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar. Adapun amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi pada sifatnya.

D. Aqidah Ahlussunnah.
          Kalau dari uraian dia atas, kita mengetahui bahwa aliran Ahlussunnah identik dengan aliran Asy’ariah, maka artinya kepercayaan aliran Asy’ariah menjadi kepercayaan Ahlussunnah. Kepercayaan-kepercayaan Ahlussunah antara lain:

1.     Tuhan bisa di lihat dengan mata kepala di akhirat.
2.     Sifat-sifat Tuhan, yaitu sifat-sifat positif atau ma’ani, yaitu kodrat, irodat, dan seterusnya adalah sifat-sifat yang lain dari zat Tuhan, tetapi bukan juga lain dari zat.
3.     Al-Qur’an sebagai manifestasi kalamullah yang qodim adalah qodim, sedang Al-Qur’an yang berupa huruf dan suara adalah baru.
4.     Ciptaan Tuhan tidak karena tujuan.
5.     Tuhan menghendaki kebaikan dan keburukan.
6.     Tuhan tidak berkewajiban:
a.      Membuat yang baik dan yang buruk,
b.      Mengutus utusan (rasul-rasul),
c.      Memberi pahala kepada orang yang ta’at dan menjatuhkan siksa atas orang yang durhaka.
7.     Tuhan boleh memberi beban di atas kesanggupan manusia.
8.     Kebaikan dan keburukan tidak dapat di ketahui akal semata-mata.
9.     Pekerjaan manusia Tuhanlah yang menjadikannya.
10.   Ada syafaat pada hari kiamat. [18]
11.  Utusannya Nabi Muhammad saw, di perkuat dengan mukjizat-mukjizat.
12.  Kebangkitan diakhirat, pengumpulan manusia, pertannyaan mungkar dan nangkir di kubur, siksa kubur, timbangan amal perbuatan manusia, jembatan kesemuanya adalah benar.
13.  Syurga dan neraka makhluk kedua-duanya.
14.  Semua sahabat-sahabat Nabi adli dan baik.
15.  Sepuluh orang sahabat yang di janjikan masuk syurga oleh Nabi pasti terjadi.
16.  Ijma adalah suatu kebenaran yang harus diterima.
17.  Orang mukmin yang mengerjakan dosa besar, akan masuk neraka sampai selesai menjalani siksa, dan akhirnya akan masuk syurga. [19]

E.  Ciri-Ciri Ahlus Sunnah.
          Diantara ciri-ciri Ahlus Sunnah antara lain:
1.  Manhaj (jalan) Ahlus Sunnah ialah ittiba’ (mengikuti) atsar-atsar[20] Rasulullah secara lahir dan batin, mengikuti jalan orang-orang terdahulu dari generasi pertama Muhajirin dan Anshar, serta mengikuti wasiat Rasulullah, yaitu berpegang teguh kepada Sunnahnya dan sunnah Khulafa-ur Rasyidin.
2.  Ahlus Sunnah menyakini bahwa sebaik-baik perkataan adalah perkataan Allah (kalammullah) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad S.A.W.
3.  Ijma’ di jadikan sebagai landasan ilmu dan agama.
Kata ijma’ berasal da ri kata kerja ajma’a-yijmi’u- ijmaa’an yang artinya bersetuju, bersatu pendapat, bersepakat dan lain-lainnya lagi yang searti itu. Ijma’  menurut istilah adalah kesepakatan atau persetujuan para ulama ahli ijtihad dari umat Nabi Muhammad pada suatu masa atas satu hukum syara’ (hukum agama).[21]
          Ahlus Sunnah Menjadikan ketiga dasar ini sebagai tolak ukur bagi semua yang di lakukan oleh manusia, baik dalam perkataan dan perbuatan yang lahir maupun batin dari segala apa yang berkaitan dengan agama. Apa yang datang dari perkataan-perkataan manusia atau pendapat-pendapat mazhab di mana orang mengikutinya, maka mereka (ahlus sunnah) menimbangnya dengan tolak ukur Al-Qur’an, As-Sunnah, serta Ijma’ sahabat dan generasi terbaik umat ini, maka menjadi luruslah jalan mereka.[22]

F.  Ciri Golongan Yang Meninggalkan  Ahlus Sunnah.
1.    Tidak mengetahui kebenaran dan berhukum dengan hawa nafsu.
2.    Saling membenturkan pendapat mereka, bertafaruq(perpecahan), dan bermusuhan.
3.    Bersikap berlebihan beragama.
4.    Jahil terhadap kebenaran dan berperilaku munafik.
5.    Fanatisme yang di sertai perlakuan keji terhadap penentang mereka.
6.    Mengagung-agungkan seseorang atau pendapat yang dapat memecah-mecah umat.
7.    Mengkafirkan dan menuduh fasik penentang mereka dalam ijtihad dan takwil.
8.    Bertindak zhalim, suka permusuhan, dan ceroboh.
9.    Menyejajarkan antara kesalahan dengan dosa.
10. Mereka keluar dari sunnah dan jama’ah, serta menuduh Ahli Sunnah dengan cara dzalim, keji dan permusuhan.[23]

G. Hukum Orang-Orang Yang Menentang Sunnah.
     Para penentang Sunnah, antara lain: Mujtahid yang keliru, jahil yang di maafkan, zhalim yang melampui batas, munafik zindik, dan musrik yang sesat.
1.    Mujtahid yang keliru.
Diantara orang-orang yang menentang As-Sunnah sebagian besar di sebabkan karena ijtihad yang keliru dalam rangka mencari kebenaran. Bisa juga karena kurangnya pengetahuan ilmu syari’at yang mereka kuasai, atau karena semacam penakwilan khusus dengan data-data yang meragukan. Namun, dalam hal ini mereka tidak bertindak mendahului Allah dan rasulnya, dan tidak sengaja menyalahi Allah dan Rasulnya, dan beriman kepada Allah lahir maupun batin.
2.    Jahil yang bisa di maaf kan.
a.    Di antara mereka ada yang menyalahi Sunnah karena sedikitnya sandaran mereka kepada Al-qur’an dan Sunnah.
b.    Di antara mereka ada yang menentang Sunnah karena ijtihad yang keliru atau takwil yang jauh.
3.    Orang yang Melampui Batas dan Dzalim.
Orang-orang yang menyalahi sunnah, di antara mereka ada yang jatuh pada perbuatan keji, zhalim, saling bermusuhan, baik karena kekeliruan dalam ijtihad dan takwil ataupun karena kedzaliman dan kebodohan. Mereka termasuk pelaku maksiat yang mendapat dosa karena melakukan kekeliruan.
4.    Munafiq Zindiq.
Orang-orang yang menyalahi Sunnah, diantara mereka ada yang tergolong yaitu menyembunyikan kekufuran, dendam kesumat, dan kemurkaan mereka kepada kaum muslimin. Sesungguhnya orang yang mengerjakan shalat namun menyimpan sifat kufur terhadap sesuatu kekufuran, maka tidaklah ia melakukan shalat kecuali sebagai munafiq zindiq, dia kafir.
5.    Musyrik yang Sesat.
Orang yang menentang Sunnah, ada yang musyrik dan sesat, serta harus di suruh bertaubat dari kemusyrikan mereka jika menampakkannya. Andaikata menolak, mereka di bunuh sebagai orang-orang kafir yang murtad.[24]







ANALISIS
Kata As Sunnah dalam arti sempit hanya mencakup hadits, belum mencakup al-Quran, sumber pertama dari ajaran Islam. Tetapi kalau diingat bahwa Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah tidak pernah seujung rambut pun berbeda sikap dengan firman Allah (al-Quran), maka dapat dipastikan bahwa mengikuti assunnah pasti mengikuti al-Quran.
Dengan pengertian inilah kata As Sunnah diartikan sebagaimana diuraikan di atas dan diartikan penghayatan dan amalan para sahabat terkemuka sebagai petunjuk pembantu untuk mencapai ketepatan memahami dan mengamalkan assunnah.
Oleh karena itu di simpulkan bahwa yang di maksut dengan ahlus Sunnah adalah ajaran yang di bawa, di kembangkan, dan di amalkan oleh Nabi Muhammad S.A.W, dan di hayati, di ikuti, dan di amalkan pula oleh para sahabat. Ahlussunnah ialah golongan yang berusaha selalu berada pada garis kebenaran assunnah. ahlussunnah adalah golongan yang paling setia kepada Nabi Muhammad saw.








BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Ahlussunnah adalah orang yang mempunyai sifat dan berkarakter mengikuti sunnah Nabi saw, dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam masalah agama. Tokoh-Tokohnya adalah Al-Asy’ari dan Al-Maturidi.
          Aqidah Ahlussunnah antara lain: Tuhan bisa di lihat dengan mata kepala di akhirat, Sifat-sifat Tuhan adalah sifat-sifat yang lain dari zat Tuhan, tetapi bukan juga lain dari zat, Al-Qur’an qodim, Ciptaan Tuhan tidak karena tujuan, Tuhan menghendaki kebaikan dan keburukan dan lain-lain.
          Ciri-Ciri Ahlus Sunnah antara lain: Manhaj (jalan) Ahlus Sunnah ialah ittiba’ (mengikuti) atsar-atsar Rasulullah, Ahlus Sunnah menyakini bahwa sebaik-baik perkataan adalah perkataan Allah (kalammullah) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad S.A.W, Ijma’ di jadikan sebagai landasan ilmu dan agama.
          Ciri Golongan Yang Meninggalkan  Ahlus Sunnah: Tidak mengetahui kebenaran dan berhukum dengan hawa nafsu, Saling membenturkan pendapat mereka, Bersikap berlebihan beragama, Jahil terhadap kebenaran, Berperilaku munafik, dan lain sebagainya.
          Diantara Hukum Orang-Orang Yang Menentang Sunnah: Mujtahid yang keliru, Jahil yang bisa di maaf kan, Orang yang Melampui Batas dan Dzalim, Munafiq Zindiq, dan Musyrik yang Sesat.





DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2013.
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta Selatan: Pt. Al Husna Zikra, 2001.
Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta Selatan: Pt. Al Husna Zikra, 2006.
Ibrahim, Ilmu Kalam/ Theologi Islam, Lampung: IAIN Raden Intan, 2013.
Moenawar Chalil, Kembali Kepada Al qur’an dan As- Sunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1956.
Muhammad Abdul Hadi Al  Mishri, Manhaj dan Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Menurut Pemahaman Ulama Salaf, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hlm. 165.
Nukman Abbas, Al-Asy’ari (Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan), Jakarta: Erlangga, 2006.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Syarah Aqidah Wasithiyah (Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Menurut Pemahaman Salafus Shalih), Bogor: CV. Media Tarbiyah, 2009.
                      
                                                                                                                                


[1] Ibid., hlm. 91.
[2] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2013). hlm., 146.
[3]  Ibid., hlm. 147.
[4] Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta Selatan: Pt. Al Husna Zikra, 2006), hlm., 59.

[5]  Ibid., hlm. 61.   
[6]  Ibid., hlm., 61.
[7] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Op, Cit., Hlm.146.

[8] Ibid., hlm. 148.
[9] Nukman Abbas, Al-Asy’ari (Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan), (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm., 125.
[10] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Op, Cit., hlm. 149.

[11] Ibid., Hlm. 150.
[12]  Ahmad Hanafi, Op, Cit.,  hlm. 71.
[13] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Op, Cit., hlm. 152.

[14]  Ibid., hlm. 153.
[15]  Ibid., hlm. 155.
[16]  Ibid., hlm. 156.
[17]  Ibid., hlm. 156.
[18] A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta Selatan: Pt. Al Husna Zikra, 2001), hlm., 116.
[19] Ibid.,  hlm., 116.
[20] Atsar yaitu bekas, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir (penetapan).
[21] Moenawar Chalil, Kembali Kepada Al qur’an dan As- Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1956), hlm. 302.
[22]  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Syarah Aqidah Wasithiyah (Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Menurut Pemahaman Salafus Shalih), (Bogor: CV. Media Tarbiyah, 2009), hlm. 258.
[23] Muhammad Abdul Hadi Al  Mishri, Manhaj dan Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Menurut Pemahaman Ulama Salaf, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hlm. 149.
[24] Ibid., hlm., 165.                                         

0 Response to "makalah ilmu kalam tentang ahlus sunnah wal jama'ah al-asy'ari dan al maturidi"

Post a Comment