Tugas
individu
AMAR
MA’RUF NAHI MUNKAR DALAM TINJAUAN PENDIDIKAN ISLAM.
Untuk
Memenuhi Tugas Uts Mata Kuliah Tafsir Tarbawi
Dosen:
Ahmad Lutfiadi, M. Pd. I
Disusun
oleh:
NAMA NPM
Asngari[1] 1311010275
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
RADEN
INTAN LAMPUNG
1437 H / 2016 M
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Pada zaman sekarang, semakin hari semakin banyak orang
yang bertindak anarkis, seolah-olah itu sudah menjadi bagian dari hidupnya dan menjadi primadona di zaman ini. Tidak ada
yang mau mencegah, tidak ada yang melarang. Padahal kita di perintahkan untuk
menjalankan Amar ma’ruf Nahi Munkar.
Tapi mana buktinya?.
Manusia hanya ingin bahagia, tentram, dan nyaman dalam
hidupnya, tapi tak mau berusaha untuk mewujudkannya. Apakah ini yang di namakan
Amar Ma’ruf Nahi Munkar?. Wahai manusia yang berpikir, Ingatlah!. Segala amalmu
akan di pertanggung jawabkan di akhirat kelak.
Banyak fenomina di alam ini, Misalnya banjir, Puting
beliung, gempa bumi dan lain sebagainya, tak lain adalah ulah dari manusia itu
sendiri. Mereka tidak menjalankan perintah Allah SWT misalnya Amar Ma’ruf Nahi
Munkar. Seandainya Manusia itu sadar dengan dirinya bahwa mereka adalah makhluk
ciptaan Allah SWT, maka mereka akan menjalankan kewajibannya sebagai hamba
Allah.
Tapi sedikit sekali yang menyadarinya dan mensyukurinya,
kebanyakan dari mereka terlena dengan buaian dunia yang semu, sedikit, dan
terbatas ini. Semoga makalah ini dapat menjadi pelajaran khususnya bagi
yang membaca dan umumnya bagi kita semua,
sekaligus bisa mempraktekan dalam
kehidupan sehari-hari. Aamiin.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
1. Pengertian Amar
Ma’ruf Nahi Munkar.
Menurut al- Maraghi yang di maksut dengan al-Ma’ruf adalah sesuatu yang di pandang
baik menurut agama dan akal Sedangkan al-Munkar
adalah lawan atau kebalikan dari al-Ma’ruf.
Muhammad Abduh mengatakan bahwa yang di
maksut amar ma’ruf nahi munkar adalah
benteng memelihara umat dan pangkal timbulnya persatuan. Menurut ‘Ala
al-Maududi berpendapat bahwa kata ma’ruf adalah
nama untuk segala kebajikan atau sifat-sifat yang baik yang sepanjang masa
telah di terima dengan baik oleh hati nurani manusia.
Dengan mengikuti pendapat terakhir dapat di ketahui bahwa
Amar Ma’ruf dapat di artikan usaha mendorong dan
menggerakkan umat manusia untuk menerima dan melaksanakan hal-hal yang
sepanjang masa telah di terima sebagai suatu kebaikan berdasarkan penilaian
hati nurani manusia dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu ada pula yang
berpendapat bahwa kebaikan yang terdapat pada kata al-ma’ruf adalah kebaikan yang di dasarkan pada nilai agama
semata-mata.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat di simpulkan bahwa
yang termasuk kategori al-ma’ruf adalah
segala sesuatu dalam bentuk ucapan, perbuatan, pemikiran, dan sebagainya yang
di pandang baik menurut syari’at
(agama) dan akal pikiran, atau yang di anggap baik menurut akal namun sejalan
atau tidak bertentangan dengan syari’at.[2]
Adapun Nahiy munkar
mengandung pengertian hal-hal yang munkar atau nama untuk segala dosa dan
kejahatan-kejahatan yang sepanjang masa telah di kutuk oleh watak manusia
sebagai jahat.
2. Ayat yang Menerangkan
Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ
يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
‘’
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran,3:104).’’
Maksut
dari ayat tersebut adalah hendaknya terdapat suatu golongan yang memilih tugas
menegakkan dakwah, memerintahkan kebaikan, dan mencegah kemungkaran. Sasaran
perintah ayat ini adalah seluruh orang mukmin yang mukallaf, yaitu hendaknya
menyiapkan suatu kelompok yang melaksanakan perintah ini.
Hal yang
demikian didasarkan pada pandangan bahwa pada setiap orang terdapat kehendak
dan aktivitas di dalam melaksanakan tugas tersebut, dan mendekatkan caranya
dengan penuh ketaatan, sehingga jika mereka melihat kesalahan segera mereka
kembali jalan yang benar. Orang-orang
Islam generasi pertama melaksanakan tugas tersebut dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah dengan melaksanakan kegiatan sosial pada umumnya. Mereka telah
berkhutbah, mereka berkata, Jika engkau melihat orang yang menyimpang maka
segera meluruskannya.[3]
Namun demikian, Pada setiap orang yang melaksanakan tugas
tersebut agar memiliki syarat-syarat sehingga ia dapat melaksanakan tugasnya
dengan baik dan menjadi contoh teladan(amal shaleh) yang menyebabkan mereka di
ikuti dan di teladani ilmu dan amalnya, syarat-syarat tersebut adalah:
Pertama, orang
tersebut mengetahui kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah, Riwayat hidup Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya.
Kedua, Mengetahui
keadaan orang yang menjadi sasaran dakwahnya, kesiapan mereka untuk menerima
dakwah, serta akhlaknya.
Ketiga, Mengetahui
agama dan mazhab yang di anut oleh masyarakat. Dengan demikian dapat di ketahui
dengan mudah hal-hal yang batil. Hal yang demikian di dasarkan pada pandangan
bahwa manusia, sekalipun tidak tampak padanya kesesatan, tidak berarti ia akan
berpaling pada kebenaran yang di sampaikan kepada yang lainnya.[4]
Ringkasnya dapat dikataka bahwa kegiatan dakwah dapat
dilaksanakan oleh kelompok-kelompok tertentu yaitu orang-orang yang mengetahui
rahasia dan hikmah hukum serta memahaminya. Dan itulah yang di maksut dengan
ayat yang berbunyi:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا
كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ
لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ
لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
‘’ Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya.’’
Orang-orang yang
di maksut ayat tersebut adalah orang-orang yang dapat menegakkan hukum Allah
untuk kemaslahatan hamba pada setiap zaman dan tempat berdasar pada pengetahuan
mereka pada masjid-masjid, tempat-tempat ibadah serta hal-hal yang di anggap
menguntungkan masyarakat umum.
Jika
mereka melakukan semua itu, maka tercapailah kebaikan pada umat dan akan jarang
terjadi keburukan, akan lembut hatinya, sehingga mereka saling berwasiat dengan
kebenaran dan kesabaran, serta berbahagia kehidupan di dunia dan akhirat.
Mereka itu seperti di luluskan dalam ayat:[5]
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ
الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ
الْفَاسِقُونَ
‘’
K amu adalah umat yang terbaik yang di keluarkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya
Ahl al-kitab beriman, tentulah itu baik bagi mereka; di antara mereka ada yang
beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.’’(Q.S. Ali ‘imran:
110).
Kamu wahai seluruh umat Muhammad dari generasi ke
generasi berikutnya, sejak dahulu dalam pengetahuan Allah adalah umat yang
terbaik karena adanya sifat-sifat yang menghiasi diri kalian. Umat yang di
keluarkan yakni di wujudkan dan di nampakkan untuk manusia seluruhnya sejam
adam hingga akhir zaman.
Ini
adalah karena kalian adalah umat yang terus menerus tanpa bosan menyuruh kepada
yang ma’ruf yakni apa yang di nilai baik oleh masyarakat
selama sejalan dengan nilai-nilai Ilahi dan mencegah yang munkar yakni yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur, pencegahan
yang sampai pada batas menggunakan kekuatan dan karena kalian beriman kepada
Allah, dengan iman yang benar sehingga atas dasarnya kalian percaya dan
mengamalkan tuntunannya dan tuntunan rasulnya, serta melakukan amar ma’ruf nahi munkar itu Sesuai
dengan cara dan kandungan yang di ajarkannya.
Inilah yang menjadikan kalian meraih kebajikan, tapi jangan duga Allah pilih
kasih, sebab sekiranya Ahl al-kitab, yakni
orang Yahudi dan Nasrani beriman, sebagaimana keimanan kalian dan mereka tidak
bercerai berai tentulah itu baik juga bagi mereka; di antara mereka ada yang
beriman, sebagaimana iman kalian, sehingga dengan demikian merekapun meraih
kebajikan itu dan menjadi pula bagian dari sebaik-baik umat, tetapi jumlah
mereka tidak banyak kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. Yakni
keluar dari ketaatan kepada tuntunan-tuntunan Allah swt.[6]
Salah satu cara untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dapat dijalan kan melalui keluarga, dalam
surah Taha ayat 132 di jelaskan bahwa
setiap orang tua, terutama ayah sebagai kepala keluarga, menyuruh anggota
keluarganya mendirikan shalat. Dalam suatu riwayat di tegaskan, bahwa Nabi
bersabda yang maksutnya ‘’ Suruhlah anakmu mengerjakan shalat jika mereka
berumur tujuh tahun. Dan apabila anak itu sudah berusia sepuluh tahun tidak mau
mengerjakan shalat maka berikanlah hukuman ke atasnya’’. Riwayat ini
menggambarkan, bahwa orang tua berkewajiban menyuruh anak-anaknya menjalankan
perintah agama terutama shalat.
Kewajiban
menyuruh anggota keluarga mengerjakan shalat berarti wajib pula bagi kepala
keluarga mengajarkan anggota keluarganya hal-hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan shalat. Sebab, perintah menyuruh mengerjakan shalat tidak mungkin
di laksanakan tanpa di awali dari mengajar anggota keluarga mengenai tatacara
pelaksanannya.
Selain
perintah menyuruh anggota keluarga mendirikan shalat, juga di perintahkan
bersabar dalam melaksanakan shalat tersebut termasuk pula sabar dalam mengajar
mereka mendirikan shalat karena dalam mendirikan shalat akan selalu di temui
banyak rintangan dan godaan. Godaan itu meliputi kesibukan duniawi dan
kesenangan nafsu melakukan sesuatu sehingga manusia melalaikan waktunya, bahkan
meninggalkannya.[7]
Tidak
hanya itu saja dalam hadits juga di terangkan:
عَنْ
اَبِيْ سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ قَالَ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإيْمَانِ (روه المسلم)
Abu
Sa’id Al-Khudriy ra. Berkata, Aku mendengar Rasullah saw. Bersabda,
‘’ Barang siapa di antara kalian
melihat kemungkaran hendaklah ia merubah dengan tangannya; bila ia tidak mampu,
maka dengan lisannya; dan kalau tidak mampu maka dengan hatinya. Yang demikian
itu adalah selemah-lemah iman.’’(h.r. Muslim).[8]
Maksutnya adalah apabila kita melihat adanya kemunkaran
di sekitar kita hendaknya jagan diam saja, kita telah di perintahan untuk
melerainya bahkan menyelesaikannya dengan tangan ( kekuasaan ) kita kalau yang
melakukan itu bawahan kita, seandainya tidak mempunyai kewenangan terhadap hal tersebut maka dengan lisan kita.
Ucapan
yang baik akan menghasilkan yang baik pula maka dari itu, sebaiknya kita
menggunakan tutur kata yang baik supaya
mereka bisa mengerti bahkan menerima apa
yang kita ucapkan. Apabila tidak mampu pula maka dengan hati kita yaitu dengan
mendoakan mereka supaya mereka bisa menyelesaikan masalahnya bahkan bisa
berbuah damai bagi keduanya. Itulah selemah-lemahnya iman.
Dalam
riwayat lain di katakana,’’ Selain ketiga perbuatan itu, berarti tiada keimanan
meskipun hanya sebiji sawi.’’ Imam Ahmad meriwayatkan dari Hudzaifah Ibnul
Yaman bahwa Nabi bersabda,’’ Demi zat yang jiwa ku berada dalam
kekuasaannya, hendaknya kamu menyuruh kepada kema’rufan, mencegah dari
kemunkaran, atau Allah menyegerakan pengiriman siksa dari sisinya, kemudian
kamu berdoa kepadanya, lalu Dia tidak memperkenankan doamu.’’ (HR Ibnu Majah dan
Tirmidzi) Tirmidzi menyatakannya sebagai hadits hasan.[9]
Menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang munkar atau
dengan kata lain dakwah ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban berdakwah.
Ada yang mengatakan bahwa dakwah sebagai kewajiban umum, atau fardu ‘in (tiap individu) dan kewajiban
khusus atau fardu kifayah (hanya bagi
kelompok khusus). Dalam hal ini Imam Syafi’i berpendapat bahwa
kewajiban-kewajiban itu mencangkup kewajiban umum dan khusus. Umat manusia
terkena seruan dakwah islamiyah. Jika di tinggalkan, dosalah semuanya. Oleh
karena itu, wajiblah ada suatu kelompok khusus yang melakukan dakwah islamiyah
dan tentu saja semuanya akan mendapatkan dosa manakala para ulama lainya tidak
melakukan hal itu.
Dakwah islamiyah itu menjadi kewajiban setiap manusia.
Oleh karena itu, di mintak atau tidak, ia berkewajiban melakukan dakwah
islamiyah sesuai dengan kemampuan ilmu dan upayanya, kemudian dengan memintak
bantuan dari kalangan kaum muslimin. Dengan dakwah mereka itu akan tampak lebih
tegas lagi kemanapun yang mereka miliki dalam berdakwah dan lebih mengetahui
hukum-jukum islam, mengetahui pokok-pokok kebenaran islam, mengerti benar akan
seruan kepada islam, sebagai penggugah jiwa(pembangkit semangat juang). Diapun
mengetahui bahasa orang-orang yang mereka ajak masuk islam. Mereka mengalami berbagai
kesulitan lalu lintas baik di daratan maupun di lautan.
Dalam kaitan
tersebut jelaslah bahwa hukum berdakwah ada yang sifatnya fardu ‘in, yaitu dakwah dalam arti mengajak orang lain mengikuti
ajaran Allah dan Rasulnya menurut kadar kesanggupan yang di miliki
masing-masing. Dakwah dalam arti yang demikian itu di laksanakan di mana saja,
kapan saja, oleh siapa saja, dan dalam bentuk apa saja( lisan, tulisan,
perbuatan) sepanjang mempunyai kesempatan dan peluang. Dan ada yang sifatnya fardu kifayah, yaitu dakwah dalam arti
yang terorganisir dengan rapi, terprogram secara sistematik dan
berkesinambungan dan di laksanakan oleh para ahli yang memiliki pengetahuan dan
keterampilan khusus.[10]
3. Hubungan Dakwah dan
Pendidikan
Hubungan antara pendidikan dan dakwah dapat di lihat dari
analisis sebagai berikut.
a. Di lihat dari segi
sasarannya.
Di
lihat dari segi sasarannya, dakwah dan pendidikan memiliki sasaran yang sama,
yaitu manusia. Bedanya, dalam berdakwah sasarannya terkadang ada yang di
kelompokkan dan terkadang ada yang tidak di kelompokkan.
Dalam
berdakwah terkadang di lakukan kedalam kelompok sasaran dari berbagai latar
belakang jenis kelamin, usia, tingkat kecerdasan dan lainnya yang berbeda-beda
menjadi satu, seperti yang terlihat pada acara dakwah di masjid-masjid, majlis ta’lim dan lain sebagainya. sedangkan dalam pendidikan, sasarannya lebih
terklafisikasikan berdasarkan perbedaan usia, kecerdasan dan lain sebagainya.
b. Di lihat dari segi
ruang lingkup atau materi yang di sampaikan.
Keduanya
memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah bahwa ruang lingkup atau
materi dakwah dan pendidikan pada intinya harus sejalan dengan al-Quran dan
al-Sunnah. Bedanya bahwa ruang lingkup atau materi dalam berdakwah lebih umum
atau tidak terperinci dan lebih menggambarkan motivasi secara global.
Sedangkan dalam
pendidikan, ruang lingkup atau materi berdakwah lebih terperinci sebagaiman di
tuangkan dalam kurikulum dan silabi yang harus di capai pada setiap semester,
triwulan dan setiap kali tatap muka. Perbedaan dakwah dan pendidikan dapat di
umpamakan dengan makan obat/vitamin dan makan nasi.
Berdakwah lebih di arahkan kepada motivasi agar setiap
orang terdorong untuk melaksanakan ajaran, seperti orang yang makan obat atau
vitamin agar timbul nafsu makan, dan setelah nafsu makan, maka orang tersebut
jangan di beri obat atau vitamin terus, tetapi harus di beri nasi, makanan,
minuman dan sebagainya.
c. Di lihat dari segi
tujuannya.
Antara
dakwah dan pendidikan juga memiliki persamaan dan perbedaan. Dakwah dan
pendidikan sama-sama bertujuan mengubah sikap mental manusia dengan cara di
berikan motivasi dan ajaran-ajaran, agar orang tersebut mau melaksanakan ajaran
Islam dalam arti seluas-luasnya, sehingga ia dapat melaksanakan fungsi kekhalifahannya dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.
Perbedaanya,
dalam pendidikan di samping terdapat
tujuan universal yang berjangka panjang dan sulit di ukur dalam waktu singkat,
juga terdapat tujuan khusus yang berjangka pendek dan dapat dengan mudah dapat
di ukur pada setiap selesai akhir pelajaran. Dalam berdakwah, tujuan yang di
rencanakan tampak bersifat umum bahkan dalam berdakwah yang tradisional, tidak
terdapat rumuasan tujuan sama sekali.
d. Di lihat dari segi
caranya.
Di
lihat dari segi caranya terdapat persaaan dan perbedaan antara dakwah dan pendidikan.
Persamaannya, dalam berdakwah sebagaimana di kemukakan paling kurang dapat di
lakukan dengan tiga cara, yaitu di
lakukan dengan cara hikmah, mua’idzah
hasanah dan mujadalah.
Di
dalam pendidikanpun ketiga cara tersebut dapat pula di lakukan. Perbedaannya,
dalam pendidikan cara atau metode yang di gunakan di samping tiga cara tersebut
masih banyak lagi variasinya, seperti ceramah, diskusi, keteladanan, kisah,
sosiodrama, simulasi, problem solving,
karya wisata, penugasan, dan lain sebagainya.
Dengan kata lain metode
dalam pendidikan metodenya jauh lebih bervariasi dan berkembang di bandingkan
dengan metode yang terdapat dalam dakwah. Hal ini sebagai akibat dari keadaan
dimana penelitian, uji coba(percobaan) dan pengembangan metode dalam pendidikan
jauh lebih banyak di lakukan ketimbang dengan apa yang terdapat dalam bidang
dakwah.
e. Di lihat dari segi
hukumnya.
Terdapat
pula persamaan antara dakwah dan pendidikan. Dakwah dan pendidikan ada yang
termasuk kedalam kategori hukumnya wajib bagi semua ( fardu’ain ) dan ada yang
hukumnya fardu kifayah. Dakwah dan
pendidikan hukumnya wajib dilakukan oleh setiap orang, manakala yang di maksut
dengan dakwah dan pendidikan tersebut dalam arti umun, yaitu di lakukan kapan
saja, di mana saja, dengan cara apa saja, oleh siapa saja Sesuai keadaan dan
kemampuan yang bersangkutan.
Dakwah dan pendidikan hukum fardlu
kifayah, manakala yang di maksut dengan arti khusus, yaitu dakwah dan
pendidikan yang terprogran secara sistematis, dan berkesinambungan, ruang
lingkup, sasaran dan tujuan yang khusus, serta memerlukan keahlian khusus pula
bagi orang yang melakukannya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka perlu adanya
kerjasama yang baik dan seerat mungkin antara kegiatan dakwah dengan
pendidikan. Dakwah harus mendorong masyarakat agar mau meningkatkan kualitas
dirinya dengan cara meningkatkan kemampuannya melalui pendidikan dalam arti
yang luas.
Demikan pula
pendidikanpun harus mendorong masyarakat agar mau melakukan dakwah dan
mengamalkan ajaran amar ma’ruf nahi
munkar. Pendidikan islam menempati
posisi sentral dalam upaya mensosialisasikan ajaran-ajaran islam, baik secara
individu maupun sosial di berbagai aspek kehidupan manusia. Dengan demikian
hubungan dakwah dengan pendidikan tampak erat.[11]
BAB
III
KESIMPULAN
Al-ma’ruf adalah
segala sesuatu dalam bentuk ucapan, perbuatan, pemikiran, dan sebagainya yang
di pandang baik menurut syari’at
(agama) dan akal pikiran, atau yang di anggap baik menurut akal namun sejalan
atau tidak bertentangan dengan syari’at. Sedangkan
munkar mengandung pengertian hal-hal
yang munkar atau nama untuk segala dosa dan kejahatan-kejahatan yang sepanjang
masa telah di kutuk oleh watak manusia sebagai jahat.
Menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar atau dengan kata lain
dakwah ada yang mengatakan bahwa dakwah sebagai kewajiban umum, atau fardu ‘in (tiap individu) dan kewajiban
khusus atau fardu kifayah (hanya bagi
kelompok khusus).
Hubungan
Dakwah dan Pendidikan dapat di lihat dari analisis sebagai berikut.
a. Di lihat dari segi
sasarannya.
b. Di lihat dari segi
ruang lingkup atau materi yang di sampaikan.
d. Di lihat dari segi
caranya.
e. Di lihat dari segi
hukumnya.
Oleh
karena itu, kita di mintak atau tidak, kita berkewajiban melakukan dakwah
islamiyah sesuai dengan kemampuan ilmu dan upaya yang memiliki untuk mempraktekkan
dan mewujudkan masyarakat islam yang Rahmatallil’alamin.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad Yusuf, Kadar, Tafsir Tarbawi, Zanafa Publishing,
Yogyakarta: 2011.
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Mishbah(Pesan, Kesan, dan
Keserasian Al-Qur’an), Lentera Hati, Jakarta:
2002.
Ar-Rifa’I, Muhammad
Nasib, Ringkasan Ibnu Katsir(Surah al-Faatihah-an-Nisaa),
Gema Insani, Jakarta: 2012.
Nata, Abuddin, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan(Tafsir Al-Ayat
Al-Tarbawiy), Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2012.
An-Nawawi, Imam, Terjemah Hadits Arba’in An-Nawawi,
Al-I’tishom Cahaya Umat, Jakarta Timur: 2008.
0 Response to "AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR DALAM TINJAUAN PENDIDIKAN ISLAM"
Post a Comment