WELCOME TO MY BLOG

(BABUL 'ILMI)

AL-MASHLAHAH AL-MURSALAH, AL-‘URF ( AL-‘ADAH ) ,DAN AL-ISTISHHAB



AL-MASHLAHAH AL-MURSALAH, AL-‘URF ( AL-‘ADAH ) ,DAN AL-ISTISHHAB
Oleh:
Amir Riyadi
Novia Nurjanah
Nurul Maisyaroh
IAIN Raden Intan Lampung

Abstrak
Ilmu fiqih tanpa  melibatkan ilmu ushul fiqh, maka akan menghasilkan hukum yang kurang pas. Maka dari itu begitu pentingnya ilmu ushul fiqh. Terutama ilmu ushul fiqh tentang Maslahah Mursalah, Urf, dan Istishhab. Begitu pentingnya ilmu tentang maslahah mursalah, urf, dan istishhab. Karena setelah meninggalnya penerima wahyu / Rasulullah, banyak kejadian yang mana menurut syariat islam perlu untuk diatasi, tetapi permasalahan tersebut jalan keluarnya tidak ada dalam Al-Quran dan Al- Hadits.
Maka hal ini timbul namanya hukum ushul fiqih maslahah mursalah. Seperti, setelah meninggalnya Rasulullah saw khalifah Abu Bakr menyuruh membukukan Al-Quran, padahal tentang hal ini tidak ada dalil nashnya. Kemudian ushul fiqh urf, yang artinya adalah kebiasaan masyarakat. Adapau urf yaang boleh dijadikan pedoman dalam fiqh islam adalah urf yang baik. Seperti berkumpul untuk membaca Al-Quran dalam rangka khaul. Kemudian ushul fiqh istishhab, yaitu menyamakan dengan perkara yang awal. Seperti, orang yang hutang tetap akan dihukumi hutang, apabila belum ada bukti bahwa dia membayar hutangnya.










Pendahuluan
Permasalahan atau kejadian yang terjadi dalam kehidupan didunia ini sangat membutuhkan aturan atau undang-undang yang mengatur kehidupan manusia. Kalau dipandang dalam islam namanya adalah fiqih islam. Para ulama dalam menyusun fiqih islam haruslah memahami dalam ilmu ushul fiqih. Selain fiqih itu bersumber dari kitab aslinya, yaitu Al-Quran dam Al-Hadits, maka ada juga yang bersumber dari Ijma’ dan Qiyas. Nah adanya ijma’ dan qiyas ini adalah dengan mengetahui ilmu usul fiqih. Perlu diketahui, bahwa ilmu ushul fiqih ini yang pertama kali membukukannya adalah Al- Imam Asy-Syafi’i.
Disini kami akan membahas ilmu ushul fiqih tentang: Maslahah Mursalah, Urf, dan Istishhab. Adapun yang akan kami bahas adalah sebagai berikut:
1.      Apa arti dari Maslahah Mursalah, Urf, dan Mustashhab.
2.    Bagaimana pentingnya maslahah mursalah, urf, dan istishhab untuk kemaslahatan masyarakat yang dipandanng menurut syari’at islam.
3.      Apa saja contoh tentang maslahah mursalah, urf, dan istishhab dalam kehidupan dimasyarakat yang telah terjadi.
4.      Baagaimana pendapat ulama dalam masalah maslahah mursalah, urf, dan istishhab.















BAB I
AL-MASHLAHAH AL-MURSALAH, AL-‘URF ( AL-‘ADAH ) ,DAN AL-ISTISHHAB
A.    AL-MASLAHAH AL-MURSALAH
1.      Pengertian
Para ahli ushul memberikan ta’rif Al-maslahah Al-mursalah dengan: “ memberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak terdapat pada nash atau ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan “.[1]Maslahah mursalah adalah kebaikan yang  tidak disinggung-singgung syara’, untuk mengerjakannya atau meninggalakannya, kalau dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari keburukan.[2] Al-maslahah Al-mursalah adalah kemaslahatan yang tidak  disyari’atkan oleh syari’ dalam wujud hukum, didalam rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak ada dalil yang membenarkan atau menyalahkan.[3]
Misalnya kemaslahatan yang diaambil oleh para sahabat didalam mensyarii’atkan adanya penjara ( bui ), dicetaknya mata uang, penetapan hak milik pertanian, dan penentuan pajak penghasilan, serta banyak sekali maslahah yang diadakan berdasarkan kebutuhan.[4]
Berdasar pada pengertian tersebut,  hukum berdasarkan kemaslahatan ini semata-mata dimaksudkan untuk mencari yang menguntungkan atau kemaslahatan manusia. Maksudnya, didalam rangka mencari yang menguntungkan, dan menhindari kemudhorotan.
Kemudia, maslahah yang oleh syari’ telah disyari’atkan untuk melaksanakan maslahah itu berdasarkan pembenaran syara’ terhadap maslahah hal tersebut, maka terhadap petunjuk adanya illat hukkuum yang disyari’atkan, maka hal ini disebut dengan Al-maslahah Al-mu’tabaroh ( maslahah yang mu’tabar ). Misalnya, masalah memelihara kehidupan ummat manusia yang disyari’atkan wajib mmelaksanakannya, yakni hukum Qishosh.
Kemudian, mengenai maslahah yang dituntut oleh keadaan dan lingkungan baru setalah berhentinya wahyu, padahal syari’ belum mensyari’atkan masalah-masalah yang dikehendaki berdasar tuntutan tersebut, disamping tidak terdapat  dalil syara’ yang mengakui atau menyalahkan masalah-masalah tersebut, hal ini disebut dengan Al-munasibul Mursal atau Al-maslahatul Mursal. Misalnya, masalah tentang kehendak adanya pernikahan tanpa adanya pengakuan seara resmi, yang demikian pengingkaran terhadap perkawinan itu tidak dapat diterima. Contoh lain, adnya transaksi jual beli yang tidak tercatat, tidak bisa dipakai dasar pemindahan hak berdasarkan maslahah.
Berbicara tantang kemaslahata, ada  tiga macam kemaslahatan:
a.       Kemaslahatan yang ditegaskan dalam Al-Qur’an atau Al-Sunnah, kemaslahatan seperti ini diakui oleh para ‘Ulama’, contoh: hifdzu nafsi, hifdu maal, dan lain sebagainya.
b.     Kemaslahatan yang bertentangan dengan nash syara’ yang qoth’i. Jumhur ulama’ menolak kemaslahatan seperti ini.s
c.     Kemaslahatan yang tidak dinyatakan oleh syara’, tetapi juga tidak ada dalil yang menolaknya. Inilah yang dimaksud dengan mursalah.
2.      Persyaratan-persyaratan Al-Maslahah Al-Mursalah
a.       Hanya berlaku dalam muamalah, karena soal-soal ibadah tetap tidak berubah.
b.      Tidak berlawanan dengan maksud syari’at atau salah satu dalilnya yang sudah dikenal.
c.       Maslahah adalah karena kepentingan yang nyata dan diperlukan oleh masyarakat.
Memang menggunakan Al-maslahah Al- mursalah tanpa persyaratan-persyartan tertentu sangat besar kemungkinan jatuh kepada keinginan hawa nafsu belaka. Makam dari itu diperlukkan persyaratan-persyaratan penggunaan maslahah agar tetap dalam nilai-nilai syari’
3.      Dalil-Dalil Ulama’ Yang Memakai Al-Maslahah al-Mursalah Sebagai Hujjah
Jumhur Ulama’ mengajukan pendapat bahwa maslahah mursalah merupakan hujjah syari’at sebagai pembentukan hukum. Dalil yang dipakai para Ulama’ tersebut ialah:
a.     Kemaslahatan ummat manusia itu sifatnya selalu aktual yang tidak ada habisnya. Karena itu, jika tidak ada syari’at hukum yang berdasarkan maslahah mursalah yang berkenaan dengan hal yang baru dan tuuntutan yang berkembang, maka pembentukan hukum hanya akan terkunci berdasar maslahah yang mendapatkan pengakuan syari’.
b.    Orang-orang yang menyelidiki pembentukan hukum yang dilakukan oleh para shahabat , tabi’in, dan para mujtahid, maka akan tanpak bahwa mereka ini telah mensyariatkan aneka ragam hukum diidalam rangka mencari kemaslahatan, misalnya Abu Bakar yang melakukan pengumpulan lembaran-lembaran Al-Qur’an yang berserakan, memerangi pembangkang mennunaikan zakat, dan mengusulkan pengangkatan Umar sebagai kholifah pangganti Abu Bakar.
Kemaslahatan yang menjadi tujuan dari pada pensyariatan hukumm ini, disebut sebbagai maslahah mursalah. Ibnu Aqil mengakatakan, “siasah yaitu tiap tindakan yang mengantarkan manusia untuk lebih dekat dengan kebaikan, dann menjauh dari mafsadah, walaupun rosul tidak menetapkannya, atau wahyu tidak ada  yang turun berkenaan denngan hal  tersebut. Siapa saja yang mengatakan bahwa siasah adalah syara’ saja yang mengajarkan, maka hal itu merupakan kesalahan, sekaligus membatalkan syariat para shohabat.
4.      Syarat-Syarat Untuk Bisa Dipakai Sebagai Hujjah.
Didalam menggunakan maslahah mursaalah itu sebagai hujjah, para Ulama’ bersikap hati-hati sehingga tidak menimbulkan pembentukan syari’at berdasarkan nafsu dan keinginan tertentu. Berdasarkaan hal tersebut maka para Ulama’ menyusun syarat-syarat maslahah mursalah yang dipakai sebagai dasar pembentukan hukum.
Syarat-Syarat tersebut terdapat tiga macam, yaitu:
a.     Harus benar-benar merupakan maslahah, atau bukan maslahah yang bersifat perkiraan. Maksudnya ialah agar bisa diwujudkan pembentukan hukum suuatu masalah atau peristiwa yang melahirkan suatu kemanfaatan dan menolak kemudhorotan. Jika maslahah itu berdasarkan dugaan, atau pembetukan hukum mendatangkan kemanfaatan tanpa pertimbangan apakah maslahah itu bisa lahir lantaran pembentukan hukum tersebut, berarti maslahah tersebut hanya diambiil berdasarkan dugaan semata. Misalnya, maslahah dalam hal merampas hak suami didalam menceraikan istrinya, kemudian hak talak itu dijadikan sebagai hak Qodhi dalam seluruh suasana.
b.      Masalah itu sifatnya umum, bukan bersifat perorangan. Maksudnya ialah, bahwa dalam kaitannya dengan pemmbentukan hukum terhadap suatu kejadian atau masalah yang dapat melahirkan kemanfaatan bagi kebanyakan immat manusi, yang benar-benar dapat terwujud. Atau pembentukan hukum itu bisa menolak mudhorot, atau tidak hanya mendatangkan kemanfaatan bagi sseorang atau beberapa orang. Karenanya, hukum itu tidakdapat disyari’atkan lantaran hanya membuahkan kemaslahatan secara khusus kapada pemimpin atu orang-orang tertentu dengan tidak menaruh perhatian kepada kemaslahatan ummat. Dengan kata lain, kemaslahatan itu harus memberikan manfaat bagi seluruh manusia.
c.       Pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan ini tidak berlawanan dengan tata hukum atau dasar ketetapan nash dan ijma’. Karenanya, tuntutan kemaslahatan untuk mempersamakan antara anak laki-laki dan wanita dahal hal pembagian harta waris, merupakan maslahat yang tidak bisa dibenarkan. Sebab, masalah yang demmikian itu adalah batal.

5.      Keraguan Orang Yang Tidak Menggunakan Al-Maslahatul-Mursalah Sebagai Hujjah.
Sebagian Ulama’ berpendapat bahwa Maslahah Mursalah itu pengakuaannya dan pembatalannya tidak berdasarkan saksi syara’. Karenanya, maslahah mursalah tidak bisa dipakai sebagai dasar pembentukan hukum. Alasan mereka itu ialah:
a.     Syari’atlah  yang akan memelihara kemaslahatan manusia dengan nas-nash dan petunjuk kias. Sebab syari’ tidak berlaku menyia-nyiakan manusia. Dengan kata lain, membiarkan adanya maslahah dengan tidak menunjukkan hukumbya,  tidaklah dibenarkan. Atau, tidak ada maslahah melainkan terdapat syara’ yang mengakui, dan maslahah yang tidak terdapat  saksi syara’, berarti bukan sebagai maslahah. Jadi, sifat dugaan yang dipakai sebagai dasar pembentukan hukum tidak bisa disebut sebagai maslahah.
b.   Pembentukan hukum berdasar harusnya ada maslahah merupakan terbentuknya pintu nafsu antara para pemimpin, penguasa, dan para ulama’ fatwa (  mufti ). Dengan demikian, sebagian diantara merekan itu   terkadang kalah dengan  hawa nafsu dan keinginannya. Sebagai akibatnya, mereka bisa mengalahkan mafsadah untuk kemaslahatan. Disamping itu, maslahah merupakan persoalan yang sifatnya perkiraan, merupakan berdasar pendapat dan kondisi lingkungan. Jadi, dibolehkannya membentuk hukum dengan dasar kemaslahatan secara mutlak berarti membuka pintu kejahatan.
Menurut pendapat Dr.Abdul Wahhab Khallaf, mendasarkan pembentukan hukum dengan maslahah mursalah saya anggap benar. Sebab, jika jalan ini taidak dibuka, dengan sendirinya pembentukan hukum islam akan mengalami kebuntuan yang tidak mampu berjalan bersama dengan perubahan massa dlingkungan.
B.     AL- ‘URF
1.      Definisi ‘Urf
‘Urf  ialah segala sesuatu yang sudah saling dikenal diantara manusia yang telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan, atau yang kaitannya  dengan meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut dengan adat. [5]pengertian Urf adalah sikap, perbuatan, dan perkataan yan ‘biasa” yang dilakukan oleh kebanyakan manusia atau oleh manusia seluruhnya.[6] Urf ialah apa yang dijalankan orang, baik dalam kata-kata maupun perbuatan.
Adapun perbedaan urf dan ijma’ ialah:
a.    Urf terjadi karena ada persesuian dalam perbuatan atupun perkataan diantara umumnya manusia baik diantara orang biasa, orang ceerdik cendikiawan, atau para mujtahid. Sedangkan didalaam ijma’ kesepakatan hannya terjadi dikalangan para mujtahid saja.
b.      Apabila urf ditentang sebagian kecil manusia tidaklah membatalkan kedudukan sebagai urf. Adapun dalaam  ijma’ apaabila tidak disetujui olleh seorang mujtahid saja, maka sudah tidak bisa dianggap ijma’ lagi.
c.       Hasil yang dihasilkan ijma’ menjadi hukum  yang pasti , dalam arti tidak bisa dijadikan objek ijtihad, adapun hukum yaang dihasilkkan bardasarkan urf bisa berubah dengan perubahan ‘urf itu sendiri.[7]

Menurt ahli syara’ urf bermakna, adat, atau antara urf dan adat itu tidak ada perbedaannya. Karenya, urf mengenai perbuatan manusia, misalnya, jual beli yang dilakukan dilakukkan atas dasar saling pengertian dengan tidak mengucapkan shighot. Untuk urf yang bersifat ucapan ataau perkataan.  Misalnya, saling pengertian terhadap makna al-walad, yang lafazh tersebut mutlak berarti anak laki-lak dan bukan wanita.
Seperti deketahui setiap daerah mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda, baik adat istiadat, kondisi sosial,iklim, dan lain sebagainya. Ada uama’ yang yang mengatakan najisnya debu diisalah satu daerah, karena terbiasanya binatang ternak berkeliaran kotorannya berkececeran dimana-mana. Sementara ada imam lain yang mengtakan tidak najisnya debu disebabkan daerah tersebut bukanlah daerah dimana binatang ternak bebas berkeliaran.
2.      Macam-Macam ‘Urf.
Urf ini dibagi menjadi dua macam, yaitu (1)  urf shohih, dan (2) urf fasid.
Urf  shohih ialah segala sesuatu  yang sudah dikenal ummat mausia yang tidak berlawanan dengan dalil syara’, disamping tidak menghalalkan yang haram dan tidak menggugurkan kewajiban. Misalnya, saling pengertian manussia atau kebisan manusia mengenai transaksi borongan, saling pengertian tentang jumlah mas kawin ( mahar ), apakah mahar itu dibayar  kontan atau hutang, serta pengertian yang terjalin tentang istri yang tidak diperkenankan menyerahkan dirinya kepada suami melainkan jika sebagian mahar telah dibayar.
Urf Fasid ialah segala sesuatu yang sudah dikanal mausia, tetapi berlawanan dengan syara’, atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban. Misalnya, manusia saling mengerrti untuk melakukan perbuatan negatif dalam hal upacara kelahirah anak dan dalam hal kedudukan, serta hubungan riba dan perjanjian perjudian.[8]
Urf yang benar, yaitu yang tidak menyalahi syara’, hendaknya menjadi bahan pertiimbangan bagi mujtahid dalam melakukan ijtihadnya, dan bagi seorang hakim dalam mengeluarkan  keputusannya.
Alasan penagambilan urf tersebut ialah:
a.       Syari’at islam dalam mengadkan hukum juga memperhatikan urf yang berlaku pada bangsa arab, seperti syarat dalam kekufuan dalam nikah dan urutan perwalian dalam nikah, begitu juga dalam hal mawaris adanya pertalian dan susunan keluarga.
b.      Apa yang diniasakan orang, baik kata-kata atau perbuatan. Menjadi pedoman hidup mereka yang dibutuhkan.
Adapun urf yang salah, yaitu urf yang berlawanan dengan syara’ atau berlawan dengan hukum yang jelas, maka tidak menjadi baahan  pertimbangan seorang mujtahud atau seoarang hakim.[9]

3.      Hukum ‘Urf
Untuk urf shohih haruslah dilestarikan dalam  kaitannya dengan  upaya  pembentukanb hukum dan proses keadilan.  Para mujtahid, sudah barang tentu harus melestarikan atau memelihara ketika berupaya membentuk hukum. Bagi seorang Qodhi, harus memelihara  proses peradilan berlangsung.
Mengenai urf fasid, tidak harus dipelihara atau dilestarikan. Sebab. Pemeliharaan terhadap urf fasid berarti menentang huku syara’. Karenanya jika manusia mengeri tentang akad yang rusak ( mafsadah)  , seperti akad melakukan riba, penipuan, dan akad yang berbahaya, maka akad itu itu tidak bisa dipakai sebagai urf. Dengan demikian, undang-undang yang disusun manusia, maka yang bertentangan dengan ketentuan umum tidak bisa diakui oleh urf.
Hukum-hukum yang berdasarkan urf, bisa selalu berubah berdasarkan perubahan urf itu sendiri pada suatu massa atau perubahan lingkungan. Maka, para fuqoha’mengatakan dengan contoh tentang perselisihan, bahwa perselisihann adalah perbedaan massa dan tempat, dan bukannya merupakan perbedaan hujjah atau burhan. Terkadang kias bisa ditinggalkan lantaran diberlakukannya urf. Karenanya mengadakan kontrak borongan itu sah lantaran diberlakukannya urf, walaupun berdasarkannya qias hal tersebut tidak bisa dibenarkan, karena kontrak tersebut merupakan kontrak ma’dum.[10]
Ditinjau dari luang lingkupnya urf kita bagi menjadi:
a.       Urf umum, yaitu kebiasaan yang berlaku untuk semua orang. Misalnya membayar bis tanpa melakukan ijab qobul
b.      ‘Urf yang khusus, yaitu kebiasaan yang berlaku disuatu tempat. Misalnya adat gono-gini dijawa.[11]
C.    AL-ISTISHHAB
1.      Definisi istishhab
Secara bahasa, istishhab berartii pengakuan terhadap hubungan pernikahan. Adapun menurut istilah ulama’ ushul, ialah menetapkan terhadap suatu berdasar keadaan yang berlaku sebelumnya sehingga adanya dalil yang menunjukkan adanya perubahan keadaan tersebut, atau menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada masa lalu yang secara abadi bedasarkaan keadaan, hingga terdapat dalil yang menunnjukkan adanya perubahan.
Karenanya jika mujtahid berhadpan dengan pertanyaan mengenai kontrak atau pemeliharaan, dan tidak menemukan nash didalam Al—Qur’an dan As-Sunnah, atau tidak ditemukan dalildalam syara’ yang mutlak hukumnya, maka kontrak atau pemeliharaan itu hukumnya diperbolehkan, berdasarkan kaidah bahwa asal sesuatu itu diperbolehkan (mubah), mengenai seesuatu yang Allah ciptakan di dunia ini. Karenanya, jika tidak ada dalil yang menunjukkan adanya perubahan, maka sesuatu itu hukumnya boleh (mubah) sesuai dengan sifat kebolehan pada asalnya. Asal dari sesuatu itu hukumnya mubah, sebagaimana dalam firman Allah dalam Al-Qur’an:


“ Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.....”.(Q.S. 2. 29 ).[12]
Asy-Syaukani mengartikan istishhab dengan, “tetapnya suatu hukum selama tidak ada yang mengubahya”. misalnya, orang yang hilang tetap dianggap hidup sehingga ada bukti atau tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dia telah meninggal dan lain sebagainya. Adapun istishhab dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

a.       Istishhab Al-Bar’at Al-Ashliyyah
Seperti terlepasnya dari tanggung jawab dari semua taklif sampai ada bukti yang menetapkan taklifnya. Seperti, anak kecil sampai dengan datang masa ballighnya, seorang laki-laki dan perempuan yang bersifat pernikahan sampai adanya akad nikah.
b.      Istishhab yang ditunjuk oleh syara’ atau akal, seperti, seseorang tetap harus bertanggung jawab terhadap hutangnya sampai ada bukti bahwa dia telah melunasinya.
c.       Istishhab hukum, seperti sesuatu yang telah ditetapkan haram atau mubah, maka hukum ini tetap berlangsung sampai adanya sesuatu yang mengharamkannya yang sebelumnya mubah, begitu juga sebaliknya.
d.      Istishhab Washab, seperti keadaan hidupnya seseorang dinisbahkan kepada orang yang hilang.[13]
Istishhab diambil dari perkataan ‘ Istishhabtu ma kanafi’il madhi”, artinya saya membawa serta apa yang telah ada waktu yang lampau sampai sekarang. Dari prinsip istishhab tersebut banyak ditetapkaan kaidah-kaidah dalam ilmu fiqh, antara lain :
a.     Apa yang yakin telah ada, tidak akan  hilang hanya dengan adanya keragu-raguan.misalnya, orang yang sudah wudhu tetapi ia ragu-ragu sudah batal apa belum, maka tetap ia masih bekum batal.
b.   Hukum yang pokok bagi sesuatu ialah ibadah ( kebolehan ), sehinga datang dalil yang mengharuskan meninggalkan hukum teersebut.
c.     Tidak adanya kewajiban yang tetap berlaku, seperti tidak adanya kewajiban sholat yang keenam, sebagai tambahan sholat yang lima waktu.[14]

2.      Kehujjahan Istishhab
Istishhab merupakan dalil syra’ terakhir yang dipakai mujtahid sebagai dalil untuk mengetahui hukum suatu kejadian yang di hadapkan kepadanya. Ulama’ ushhul mengatakan, pada dasarnya, istishhab merupakan tempat berputarnya fatwa yaang terakhir, untuk mengetahui sesuatu berdasarkan hukum yang telah ditetapkan, selama tidak ada dalil yang merubah. Karenya, jika seseorang itu mengetahui adanya seorang yang hidup, maka ia itu dihukumi hidup, dan dasar hidupnya itu dipellihara hingga menujukkan dalil yang menunjukkan tidak hudunya. Orang yang mengetahui tentang wujud sesuatu, maka dihukumi sesuatu itu wuujud, hingga ada dalil yang mengatakan tidak wujudnya. Halalnya hubungan suami istri karena ikatan akad nikah, berlaku seterusnya hingga adanya ketetapan yang mengharamkannya hubungan itu.
Dengan demikian, berdasarkan istishhab ini telah menetapkan dasar syari’ah sebagai berikjut:

“Asal suatu itu merupakan ketetapan terhadap suatu yang sudah ada berdasar keadaan semula, hingga adanyaketatapan sesuatu yang merubahnya”.

“Asal sesuatu itu adalah mubah “.

“Apa-apa yang sudah tetap berdasarkan keyakinan, maka tidak akan hilang karena ragu-ragu”.
Pada dasarnya menjadikan istishhab sebagai dalil  hukum merupakan kebolehan. Sebab, dalil itu pada dasarnya merupakan dalil yang menetapkan hukkum tersebut, dan istishhab itu tidak lain hanya menetapkan dalalah dalil pada hukumnya.
Ulama’ hanafiah menetapkan bahwa istishhab itu merupakan hujjah untuk melestarikan, dan bukan menetapkan sesuatu yang dimaksudkan manusia.






KESIMPULAN
Al-Maslahah Al-Mursalah adalah membentuk suatu hukum yang tidak ada dalil nash demi untuk kemaslahatan ummat manusia. Misalnya, shohabat Abu Bakr Ash-Shidiq menyuruh membukukan Al-Qur’an agar dapat terjaga,padahal tidak ada dalil nash untuk membukukan Al-Qur’an.
‘Urf adalah suatu kebisaan yang sudah dikenal oleh kebanyakan masyarakat. Sedangkan pembagian ‘urf itu menjadi dua bagian, yaitu: ‘urf yang tidak bertentangan dengan syari’at dan ‘urf yang bertentangan dengan syari’at, maka ‘urf yang kedua ini jangan dilestarikan.
Istishhab adalah menetapkan hukum seesuai dengan keadaan yanh sebelumnya, sehingga adanya dalil yang yang merubah keadaan sebelumnya. Misalnya, orang yang berhutaang, masih tetap dihukumi hutang, sebelum adanya dalil bahwa hutang tersebut telah lunas.




















DAFTAR PUSTAKA
Dr. Abdul Wahhab khallaf. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Risalah.Bandung.1972.
Prof. H. A. Djazuli. Ilmu Fiqh Penggalian, perkembangan, Dan Penerapan Hukum Islam. Kencana. Bandung. 2005.
A Hanafie M.A. Usul Fiqh. Widjaya. Jakarta. 1989.
Pof. Dr. H. Alaiddin Koto, M.A.Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh. Rajawali Pers. Jakarta.2011.
Drs. Mu’in Umar, Drs Asymuri A. Rahman, Dr. H. Tolchah Mansoer. SH, Drs. H. Kamal Muchtar, Drs. Zahri Hamid, Drs. Dahlan. Ushul Fiqh. Departemen Agama RI. Yogyakarta. 1985.
Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si, Drs. H. Januri, M. Ag. Fiqh, Ushul Fiqh. Setia. Bandung. 2008.




















[1] Prof. H. A. Djazuli, ilmu hukum fiqih.kencana, jakarta, 2005, hal 86-87
[2]A. Hanafie M. A. Ushul fiqih,  widjaya, jakarta, 1989, hal 144-145.
[3]Prof. Dr. H. Alaiddin koto, M.A. ilmu fiqih dan ushul fiiqih, PT Raja Grafindo persada, Jakarta, 2011, hal 140.
[4]Dr. Abdul Wahhab Khallaf. Kaidah-kaidah Hukum islam, Risalah, Bandung, 1972, hal 124.
[5]Dr. Abdul Wahhab. Kaidah-kidah hukum Islam. Risalah, Bandung, 1972, Hal 132.
[6]Prof. Dr. H. A. Djazuli. Ilmu Fiqh, penggalian, perkembangan, dan penerapan hukum islam.kencana, jakarta,2005, Hal 88.
[7]A. Hanafie M.A. usul fiqh. Widjaya jakarta. 1989, hal 145-146.
[8]Dr. Abdul Wahhab Khallaf, kaidah-kaidah hukum islam, Risalah , Bandung, 1972, hal 132-135.
[9]A. Hanafie M.A, Ushul Fiqh, Widjaya, Jakarta, 1989, hal 146-147.
[10]Dr. Abdul Wahhab Khallaf, kaidah-kaidah hukum Islam, Risalah, Bandung, 1972, hal 136.
[11]Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Ffiqh penggalian, perkembangan, dan penerapan hukum islam, kencana, Jakarta, 2005, hal 90.
[12]Ibid 10
[13]Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh penggalian, perkembagan, dan penerapan hukum islam, Kencana, Bandung, 2005, hal 92-93.
[14]A. Hanafie M.A, ushul Fiqh, Widjaya, jakarta, 1989, hal 142.

0 Response to "AL-MASHLAHAH AL-MURSALAH, AL-‘URF ( AL-‘ADAH ) ,DAN AL-ISTISHHAB"

Post a Comment